Rabu, 02 Mei 2018

sejarah tafsir nusantara


I

PENDAHULUAN


Al-Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia ke arah tujuan yang terang dan jalan yang lurus Dan setelah sepeninggalan Rasulullah SAW berkembanglah problematika dalam kehidupan yang belum ada pada zaman Rasulullah SAW. Sehingga banyak sahabat yang menafsirkan Al-Quran dengan sepemahaman mereka.
Tidak hanya di zaman sahabat saja yang menafsirkan Al-Qur’an, di zaman sekarang pun banyak ulama yang telah menafsirkan Al-Qur’an dengan keilmuan yang mereka miliki khususnya Ulama yang ada di Indonesia. Makalah ini akan membahas salah satu dari Tafsir yang dikarang oleh Ulama Indonesia yaitu Tafsir al-Ahkam karangan Syaikh Abdul Halim Hasan Al-Binjai. 
Dari namanya, al-Ahkam, tergambar dalam benak pembaca, tafsir ini berbicara tentang hukum, tepatnya ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum Islam. Pengetahuan terhadap kandungan hukum dalam Alquran merupakan hal penting bagi setiap muslim. Pengetahuan yang mendalam terhadap ayat-ayat hukum dalam Alquran pada gilirannya akan melahirkan tafsir hukum yang fleksibel, sesuai dengan perkembangan zaman. Hal inilah yang dilakukan Abdul Halim Hasan Binjai dalam tafsirnya al-Ahkam.
Untuk zamannya, tafsir al-Ahkam karya Abdul Halim ini adalah karya pertama berbahasa Indonesia. Sebelumnya, banyak ulama menulis tafsir ayat-ayat hukum, atau menjelaskan aspek hukum lebih dominan, di Timur Tengah, sebut saja contohnya Tafsir Ahkam al-Qur’an  karya Ibnul `Arabi, Qur’an karya al-Kaya al-Harasi, Tafsir al-Jami` li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi, Tafsir Ayat al-Ahkam karya Ali as-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam karya Ali ash-Shabuni, Dll. Di antara banyak karya ini, untuk Indonesia, karya Abdul Halim adalah satu-satunya tafsir yang berbicara tentang ayat-ayat hukum secara khusus, dengan Tafsir al-Ahkam.
Dalam makalah yang sederhana ini, penulis berusaha membahas latar belakang penulis tafsir, metodologi yang digunakan, corak penafsiran yang digunakan, contoh penafsiran, komentar ulama, dan analisis kelebihan dan kelemahan.





II

PEMBAHASAN

A.    Biografi Syaikh Abdul Halim Hasan Binjai

1. Riwayat hidup beliau
Nama pengarang Tafsir al-Ahkam adalah Syaikh Abdul Halim Hasan, di lahirkan di Binjai, Sumatera Utara, pada tanggal 15 Mei 1901. Orang tuanya bernama Hasan yang bekerja sebagai petani. Sejak kecil, Abdul Halim telah menunjukkan sifat-sifat yang terpuji. Ia tidak mau membuang waktunya sia-sia. Di samping membantu orang tuanya, waktunya dihabiskan untuk membaca buku-buku pelajaran. Melihat karya-karyanya, tampak bahwa Abdul Halim sejak kecil termasuk Si “Kutu Buku”. Bahkan tidak berlebihan jika disebut, ciri keulamaannya telah tampak sejak kecil yang ditunjukkannya dengan ketekunan dalam melaksanakan shalat fardhu lima waktu.[1] Tidak itu saja, ia juga merupakan anak yang sangat rajin menuntut ilmu, terlebih-lebih ilmu agama.
2. Pendidikan beliau
           Pendidikan Abdul Halim di mulai dari Sekolah Rakyat. Ia sangat suka mempelajari tentang ilmu keagamaan. Di antara gurunya: Fakih Saidi Haris, Haji Abdullah Umar, Syekh H. M. Nur Ismail, Syekh H. Samah, Kyai H. Abd Karim Tamim, Syekh Hasan Ma’sum dan SyekhMukhtar al-Tarid sewaktu menunaika haji di Makkah. Guru-gurunya tersebut memiliki disiplin Ilmu yang beragam. Hal ini tergambar dari keahliah Abdul Halim sendiri, yang pakar dalam bidang fikih, sejarah, hadis, dan tafsir. Abdul Halim tidak merasa puas hanya pada ilmu agama saja. Ia juga belajar ilmu-ilmu umum. Ia belajar kepada Djamaluddin Adinegoro dalam bidang politik, pers dan jurnalistik pada tahun 1930. selain itu, ia juga mempelajari bahasa Inggris dari Mr. Ridwan.
Sejak berusia 20 tahun, Abdul Halim telah berprofesi sebagai guru pada madrasah Jam`iyatul Khairiyah di Binjai. Pada waktu ia diangkat menjadi pimpinan madrasah, tepatnya tahun 1927, nama madrasah Jam`iyatul Khairiyah ditukar menjadi Madrasah Arabiyah. Abdul Halim juga menerapkan menajemen modern dalam mengelola madrasah. Salah satu cirinya adalah ia menempatkan seseorang sesuai keahliannya masing-masing. Sebagai contoh, untuk pelajaran agama dipandu oleh Usman Doa dan Aja Syarif. Pelajaran agama dan dagang di pegang oleh M. Idris Karim dan M. Sidik Aminoto. Pelajaran agama dam ilmiah diasuh oleh Abdurrahim Haitami dan Zainal Arifin Abbas sedangkan pelajaran agama dan pemuda dipegang oleh al-Ustaz M. Ilyas Amin.

3. Wafat beliau
           Abdul Halim Hasan meninggal dunia pada hari Sabtu tanggal 15 November 1969 dalam usia 68 tahun 6 bulan. Sehari sebelumnya (Jumat, 14 November 1969) setelah selesai melaksanakan shalat Jumat di Masjid Raya Binjai, ia bermaksud untuk mengikuti shalat jenazah seorang ustaz M. Rasyid Nur di Masjid Muhammadiyah Binjai. Ketika sedang berjalan, tiba-tiba ia jatuh dan langsung di bawa ke Rumah Sakit PNP II Bangkatan Binjai. Ternyata Abdul Halaim terjangkit pendarahan otak sehingga tidak tertolong lagi.
4. Karya-karya beliau
            Abdul Halim sangat produktif dan rajin menulis, dan sering diterbitkan di media al-Islam yang diterbitkan di Sumatera Timur waktu itu. Biasanya, tulisan-tulisan ini singkat dan bersifat ulasan-ulasan sederhana mengenai persoalan hukum dan masalah-masalah yang aktual di masyarakat. Ia juga rajin menulis buku. Karyanya kebanyakan menyangkut hukum Islam dan sejarah. Namun, karyanya yang paling monumental adalah Tafsir Al-Qur’an al-Karim yang ditulis bersama dua orang temannya, dan Tafsir al-Ahkam yang dibahas dalam makalah ini. Karyanya yang lain adalah: Bingkisan Adab dan Hikmah; Sejarah Fikih; Wanita dan Islam; Hikmah Puasa; Lailat al-Qadar; Cara Memandikan Mayat; Tarikh Tamaddun Islam; Sejarah Kejadian Syara` Tulis Arab (diterbitkan di Malaysia) : Tarekh Abi al-Hasan al-Asy`ari; Sejarah Literatur Islam dan Poligami dalam Islam.
Dari karya-karyanya ini, dapat dipastikan bahwa Abdul Halim Hasan adalah seorang ulama yang mumpuni berbicara tentang ke-Islaman, tidak terkecuali tafsir Alquran sebagai spesifikasinya. 

B.     Mengenai Tafsir Al-Ahkam
1. Latar belakang penulisan Tafsir Al-Ahkam
            Karya Tafsir al-Ahkam ini tidak diterbitkan semasa hidup Abdul Halim Hasan. Gagasan untuk menerbitkan buku ini, berdasarkan sambutan Azhari Akmal Tarigan, muncul dari Azhari Akmal Tarigan yang kemudian bekerjasama dengan Agus Khair. Keduanya merupakan editor buku ini.[2]
Gagasan untuk menerbitkan karya Abdul Halim Hasan yang masih dalam bentuk script inipun lalu di sambut dengan baik oleh putra Abdul Halim Hasan, Amru Daulay, S.H. Ternyata, penerbitan buku ini juga disambut baik oleh kalangan intelek di Sumatera Utara, hal ini terlihat pada seminar peluncuran buku Tafsir al-Ahkam ini.
Prof. H. M. Yassir, salah seorang narasumber dalam seminar peluncuran buku Tafsir al-Ahkam menyatakan bahwa salah satu tujuan yang tampak sangat jelas pada diri Abdul Halim Hasan Binjai adalah menjembatani perbedaan perbendapat ummat Islam dalam banyak hal. Tujuan ini tentu saja kemudian sangat kental terlihat dalam corak penafsiran beliau di dalam Tafsir al-Ahkam.[3]
Dalam kehidupan, sehari-hari saja, usaha untuk menjembatani perbedaan paham di dalam kalangan ummat Islam terlihat dengan sikap beliau yang mau berpartisipasi dalam dua ormas besar Islam yang relatif pemahamnya tidak sama. Perbedaan memang harus disikapi dengan arif, dengan begitu tidak akan muncul fanatisme terhadap sebuah golongan akan tetapi moderatisme akan menggantikan fanatisme tersebut.
Adalah merupakan sebuah kecenderungan umum bagi semua manusia, bahwa pandangan sempit akan mengkungkung pemikiran. Pandangan dan wawasan yang sempit akan menyuburkan fanatisme, sebaliknya wawasan dan pandangan yang luas dan mendalam akan melahirkan moderatisme.
Moderatisme tampaknya tidak bisa dilupakan sebagai salah satu tujuan dalam penulisan Tafsir al-Ahkam ini. Pemahaman beliau tentang metodologi pengambilan hukum beberapa mazhab hukum telah mengantarkannya kepada sikap yang sangat menghormati kesimpulan hukum yang dianut seseorang asalkan didasarkan pada sumber yang jelas.
Dalam kata pengantar Abdul Halim Hasan disebutkan bahwa beliau menyatakan bahwa tidaklah salah bila kemudian seseorang mencermati kesimpulan hukum dan metodologi mazhab, lalu membandingkannya dengan yang lainnya. Dengan rendah hati kemudian ia menyatakan bahwa dia hanya mentarjih beberapa pendapat hukum beberapa mazhab sesuai dengan kajiannya.
Sikap moderat beliau telah menjadikannya sebagai seorang yang dihormati dan disukai di banyak kalangan dan di beberapa ormas yang yang berbeda. Moderatisme inilah tampkanya yang harus ditiru oleh umat Islam, menghormati pendapat hukum, tidak menyalahkan bahkan tidak mematok yang mana yang benar. Karena metodologi yang berbeda akan menghasilkan pendapat yang berbeda pula, dan pendapat atau kesimpulan hukum tersebut harus dihormati oleh orang lain yang mempunyai pendapat hukum berbeda.
Sebagai karya yang berjudul Tafsir al-Ahkam, maka tentu saja fokus utama karya ini adalah masalah hukum, baik aktual maupun klasik. Pendekatan yang diberikan dalam masalah hukumpun relatif aktual. Ini akan didapatkan pada penafsiran beliau yang banyak mengupas masalah-masalah aktual berangkat dari dalil-dalil yang dari dulu sudah dipakai oleh para ulama hukum untuk masalah yang berbeda.
Moderatisme seorang Abdul Halim Hasan tentu tidak akan terpisahkan dengan dasar wawasan dan pengetahuannya yang luas, mendasar dan mendalam. Sikap moderatisme yang dilandasi oleh pengetahuan yang dalam ini akan terlihat dalam kajian-kajian yang ada dalam kitab Tafsir al-Ahkam. Layaknya sikap moderat beliau, keluasan wawasan dan pengetahuan beliau dalam mengupas kajiannya diakui oleh tokoh-tokoh yang sudah mengenal beliau langsung atau hanya melalui tulisannya.
2. Metode penafsiran
Bila mengkaji metode pembahasan yang dipakai oleh Abdul Halim Hasan dalam bukunya Tafsir al-Ahkam, bagaimana beliau menguraikan masalah dan memecahkannya hingga  sampai kepada sebuah pendapat yang paling rajih maka akan terlihat Tafsir al-Ahkam merupakan salah satu bentuk dari tafsir al-Muqarin yang membandingkan antara sebuah pendapat yang relevan dengan pendapat lainnya.
Dalam satu masalah, dalam kajiannya, Abdul Halim Hasan banyak menguraikan beberapa pendapat ulama yang berbeda untuk diperbandingkan.[4] Dalam kajian tentang tidak halal memusakai perempuan dengan paksa, tercatat abdul Halim Hasan meenguraikan beberapa pendapat seperti Zuhri al-Mijaz, Hasan al-Asy’ari, Imam Malik.
Kajian beliau kemudian menguraikan beberapa faktor yang akan menghasilkan pendapat yang paling rajih di antara beberapa pendapat tersebut, baik itu sama persis atau berbeda. Uraian tersebut dilakukan dengan mengkaji asbabun nuzul ayat, kemungkinan-kemungkinan yang terdapat dalam ayat tersebut dan lain sebagainya.
Bila ditinjau dari segi sumber informasi yang digunakan, Tafsir al-Ahkam ini dapat dikategorikan kepada tafsir bil ma’tsur karena menggunakan Alquran dan Sunnah sebagai penjelas ayat. Selain itu pendapat para sahabat juga tidak luput dari perhatian beliau. Namun meski demikian, corak tafsir bir-ra’yi juga sangat kental terasa pada karya ini. Bila dilihat dari sisi cara penguraian ayatnya, maka tafsir ini merupakan tafsir maudhu’i yang Memang, tampaknya semua tafsir al-ahkam adalah tafsir maudhui’i yang mengkaji semua ayat yang bermuatan hukum di dalam Alquran. 
3. Corak penafsiran
             Dalam menentukan corak tafsir dari suatu kitab tafsir, dalam hal ini adalah Tafsir al-Ahkam, yang diperhatikan adalah hal yang dominan dalam tafsir tersebut. Sesuai dengan judul tafsir tersebut, al-Ahkam, tergambar dibenak pembaca, tafsir ini bercorak hukum, karena memang tafsir ini berbicara tentang ayat-ayat hukum, atau ayat-ayat Alquran yang mengandung aspek hukum  dalam Islam. Dari sini, Tafsir al-Ahkam dapat dikategorikan pada corak fikih dan hukum Islam.[5]
4. Komentar Ulama
Sulit bagi penulis untuk mencari komentar ulama tentang Tafsir al-Ahkam ini. Faktornya adalah karena Abdul Halim adalah ulama Sumatera Utara, dan berkiprah di Binjai. Namun, penulis berusaha mencari komentar ulama dan pemikir kontemporer, menimal ulama dan pemikir Islam kontemporer Sumatera Utara. Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sumatera utara, H. Mahmud Aziz Siregar, MA. berkomentar, “Salah satu karya monumental beliau (Abdul Halim Hasan) lainnya adalah Tafsir al-Ahkam ini. Dengan merujuk kepada kompetensi beliau dalam ilmu tafsir, kami berpendapat bahwa apa yang diuraikan beliau pada karyanya ini tidak perlu diragukanlagi keabsahan ilmiahnya.”[6]
Rektor IAIN SU, Prof. Dr. Yasir Nasution menyatakan, “Kitab tafsir ini memusatkan pembahasannya pada aspek hukum Islam dalam arti nilai-nilai dan ketentuan yang berkaitan secara langsung dengan perilaku dan kehidupan real umat. Dengan demikian, kitab ini dapat dijadikan pedoman lansung, baik dalam kehidupan individu maupun bagi kehidupan kolektif, sebab dimensi hukum ajaran Islam adalah bagian yang paling berhubungan langsung dengan kehidupan real dan pengalaman seseorang.”
Dr. Lahmuddin Nasution menjelaskan, “Jika selama ini masyarakat hanya mengenal karyanya yang berjudul Tafsir Al-Qur’anul Karim yang ditulisnya bersama dua orang ulama besar lainnya yaitu, H. Zainal Arifin Abbas dan Abdur Rahim Haitami, ternyata beliau memiliki sebuah karya tafsir yang khusus membahas ayat-ayat hukum. Karya ini sangat istimewa, karena sepanjang yang saya ketahui belum ada Tafsir Ayat al-Ahkam yang terbit pada awal abad XX dalam bahasa Indonesia.”[7]
Prof. Dr. Abdullah Syah menjelaskan, “Hemat saya, kitab tafsir ini sangat baik untuk dibaca. Di tengah sulitnya mencari kitab tafsir khususnya yang berkenaan dengan hukum-hukum Islam dalam bahasa Indonesia, kitab ini terbit pada masa yang sangat tepat. Lebih dari itu, dengan membacanya, wawasan dan ilmu kita semakin luas, khususnya dalam bidang hukum Islam.”[8]

5. Analisis Kelebihan dan Kelemahan
            Beranjak dari pujian-pujian ulama di atas, jelas tafsir ini memiliki banyak kelebihan, diantaranya:
1.      Kitab tafsir ini sangat cocok bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Sumatera Utara, karena tafsir ini ditulis dalam bahasa Indonesia yang pastinya mudah dicerna dan dipahami. Bukan hanya itu, penulis juga adalah orang Sumatera Utara sendiri, sehingga penulisnya sangat menyesuaikan dengan kondiri lokal.

2.      Kitab ini sangat bersentuhan dengan kebutuhan praktis keagamaan umat Islam, karena buku ini dikhususkan untuk menjelaskan ayat-ayat fikih atau hukum, yang diketahui bahwa pembahasan fikih sangat bersentuhan dengan praktis keagamaan umat Islam.


3.      Dalam menafsirkan suatu ayat hukum, penulis mengkomparasikan dengan ayat-ayat lain, yang berbicara tema yang sama, sehingga pembaca mendapat makna atau tafsiran yang sempurna. Tidak hanya itu, penulis juga banyak menyebutkan riwayat-riwayat hadis yang berkaitan dengan tema atau ayat yang ditafsirkan.

4.      Kitab ini, bukan hanya kumpulan pendapat atau hemat penulis saja. Buku ini juga diperkuat dengan pendapat-pendapat ulama yang mu`tabar lainnya. Bukan hanya itu, pendapat-pendapat yang ada juga didebatkan oleh Abdul Halim sehingga dapat dirajihkan pendapat yang terkuat dan layak diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai manusia biasa, Abdul Halim, dalam tafsirnya ini juga memiliki kelemahan. Tetapi kelemahan-kelemahan itu seolah tidak tampak jika dibanding dengan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Di antara kelemahan itu adalah:
1.      Walau dalam tafsirnya, Abdul Halim mengkomparasikan dengan ayat-ayat yang lain, namun, di beberapa tempat Abdul Halim meninggalkannya, sebagai contoh dalam menafsirkan ayat poligami di atas, Abdul Halim tidak mencantumkan ayat QS. An-Nisa’: 129 yang secara kandungan sangat berkaitan.

2.      Dalam menafsirkan beberapa ayat hukum juga, Abdul Halim terlihat tidak sempurna merujuk pada hadis-hadis bersangkutan, sebagai contoh tafsir ayat poligami di atas, Abdul Halim tidak mencantumkan hadis pelarangan Nabi Saw kepada Ali untuk berpoligami atau memadu anaknya, Fatimah. Terlepas dari setuju atau tidak setujunya Abdul Halim terhadap poligami, namun setidaknya, setelah dicantumkan QS. an-Nisa’: 129 dan hadis larangan poligami Ali, pembaca mendapatkan informasi yang lengkap tentang poligami menurut Alquran dan Islam.

III
PENUTUP

Abdul Halim Hasan pengarang Tafsir al-Ahkam adalah seorang ulama yang luas dan dalam pengetahuannya dalam bidang yang ia tekuni. Tokoh ini juga terkenal sangat moderat dan sederhana baik dalam penampilan maupun berpikir. Selain Tafsir al-Ahkam, Abdul Halim Hasan juga telah mengeluarkan beberapa karya lainnya, tercatat ada 11 buku yang telah diterbitkan.

Tafsir Ahkam merupakan salah satu bentuk dari tafsir al-Muqarin yang membandingkan antara sebuah pendapat yang relevan dengan pendapat lainnya. Bila dilihat dari sisi cara penguraian ayatnya, maka tafsir ini merupakan tafsir maudhu’I yang. Pengurutan ayat disusun berdasarkan urutan surah dan ayat sesuai dengan mushaf. Bila dilihat dari sumber keterangan maka tafsir ini termasuk kepada campuran tafsir bir-ra’yi dengan bil ma’tsur.

Tujuan penulisan Tafsir al-Ahkam dapat dikatakan sebagai berikut:
1.      Menjembatani perbedaan.
2.      Mengurangi fanatisme dengan memupuk moderatisme.
3.      Media penyampai gagasan Alquran.
4.      Usaha dalam mentarjih pendapat hukum para ulama.























DAFTAR PUSTAKA
.
Binjai, Abdul Halim Hasan, Tafsir al-Ahkam, Jakarta: Kencana, 2006.
Nasution, Lahmuddin, Sambutan, dalam Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam,
Jakarta: Kencana, 2006.
Siregar, Mahmud Aziz. Sambutan, dalam Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Tafsir al-Ahkam,        Jakarta: Kencana, 2006.
Tarigan, Azhari Akmal, Prolog Syekh Abd Halim Hasan (1901-1969): Mederatisme dalam            Pemikiran Hukum Islam, dalam Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam,. Jakarta: Kencana, 2006.
Syah, Abdullah, Sambutan, dalam Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, Jakarta: Kencana,            2006.
Nasution, Yasir, Sambutan, dalam Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, Jakarta: Kencana,            2006.
Utara, IAIN Sumatra, Sejarah Ulama-ulama Terkemuka di Sumatera Utara,          digandakan     kembali oleh Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara, 1983.
Yusuf, M. Yunan, “Karakteristik Tafsir Qur’an di Indonesia Abad Kedua Puluh”  dalam Ulumul Qur’an, Vol. III No. 4 Thn 1992.


[1] IAIN Sumatra Utara, Sejarah Ulama-ulama Terkemuka di Sumatera Utara, digandakan kembali oleh Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara, 1983, hlm. 233.
[2] Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, Jakarta: Kencana, 2006 hlm. xxii
[3] Yasir Nasution, Sambutan, dalam Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, Jakarta: Kencana, 2006.

[4] M. Yunan Yusuf, “Karakteristik Tafsir Qur’an di Indonesia Abad Kedua Puluh” dalam Ulumul Qur’an, Vol. III No. 4 Thn 1992, hlm, 57.
[5] Azhari Akmal Tarigan, Prolog Syekh Abd Halim Hasan (1901-1969): Mederatisme dalam Pemikiran Hukum Islam, dalam Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam,. Jakarta: Kencana, 2006. hlm, 1xv

[6] Mahmud Aziz Siregar, Sambutan, dalam Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Tafsir al-Ahkam, Jakarta: Kencana, 2006. hlm xi

[7] Lahmuddin Nasution,  Sambutan, dalam Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, Jakarta: Kencana, 2006. hlm, xv

[8] Abdullah Syah, Sambutan, dalam Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, Jakarta: Kencana, 2006. hlm, xxi

MAKALAH TAFSIR TAHLILI “ Q.S HUD AYAT 13–16 ”


MAKALAH TAFSIR TAHLILI
“ Q.S HUD AYAT 13–16 ”

 














DOSEN PEMBIMBING :
Ust. H. Masrur Ichwan, M.A.

DISUSUN :
Muhammad Nur Assidiq Wijaya


FAKULTAS USHULLUDIN
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN JAKARTA
I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia ke arah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan risalah-Nya. Juga memberitahukan hal yang telah lalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta berita-berita yang akan datang.
Sebagian besar Al-Qur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama Rasulullah telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi di antara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal itu. Maka Al-Qur’an turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul itu.
Dan setelah sepeninggalan Rasulullah SAW berkembanglah problematika dalam kehidupan yang belum ada pada zaman Rasulullah SAW. Sehingga banyak sahabat yang menafsirkan Al-Quran dengan sepemahaman mereka. 
Ilmu tafsir menurut beberapa ulama dibagi menjadi empat macam yaitu, tafsir Tahlili, tafsir Ijmali, tafsir Muqaran, dan tafsir Mawdlu’i. Namun, yang akan kita bahas kali ini yaitu tentang tafsir Tahlili dalam Surah hud ayat 13 – 16.
Tafsir Tahlili adalah ilmu tafsir yang menafsirkan Al-Qur’an secara detail dari mulai ayat demi ayat, surat demi surat ditafsirkan secara berurutan, selain itu juga tafsir ini mengkaji Al-Qur’an dari semua segi dan maknanya. Tafsir ini juga lebih sering digunakan dari pada tafsir-tafsir yang lainnya.










II
PEMBAHASAN
A.    Penafsiran Al-quran Surat Hud Ayat 13-14

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ ﴿هود:١٣﴾ فَإِلَّمْ يَسْتَجِيبُوا۟ لَكُمْ فَاعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَآ أُنزِلَ بِعِلْمِ اللَّهِ وَأَن لَّآ إِلٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ فَهَلْ أَنتُم مُّسْلِمُونَ ﴿هود:١٤﴾[1]
Artinya:
Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar". (11: 13)
Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu maka ketahuilah, sesungguhnya Al Quran itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)? (11: 14)


Pada Ayat ini menyampaikan bahwa orang-orang Kafir bersikap keras kepala terhadap Nabi Muhammad. Ayat ini juga mengisyaratkan salah satu di antara sikap orang-orang kafir itu. Ayat ini mengatakan, "Mereka menisbatkan Al-Quran kepada Nabi Muhammad dan mengklaim bahwa Al-quran adalah buatan Nabi Muhammad”. Jawaban dari tuduhan ini adalah kalimat yang logis.
 Jika memang Al-quran ini adalah buatan seorang manusia yang tidak pernah belajar membaca-menulis, maka tentunya kalian pun bisa membuat kitab semacam Al-Quran ini. Karena itu, cobalah kalian membuat ayat-ayat yang menyerupai ayat Al-quran. Tantangan Allah ini ditujukan untuk membuat semisal Al-quran dalam masalah kefasihan bahasa dan kedalaman sastranya.[2]

Sesungguhnya dalam al-qur'ân terdapat bukti yang menegaskan kebenaranmu. Jika mereka berkata, "Sesungguhnya kamulah yang menyusunnya, atau kamu telah mengada-adakan kebohongan kepada Allah," maka katakanlah kepada mereka, "Jika al-Qur'ân merupakan hasil karya manusia, tentu manusia mampu membuat yang serupa dengan al-Qur'ân. Dan karena kalian adalah para pujangga dan ahli sastera, cobalah membuat sepuluh surat yang sebanding dengan al-qur'ân. Mintalah bantuan jin dan manusia yang dapat menolong kalian, jika anggapan bahwa al-qur'ân adalah ucapan manusia itu benar.[3]
Hal yang menarik di dalam ayat ini adalah bahwa Allah Swt memberikan keringanan. Ayat ini mengatakan, "Tidak perlu kalian membuat 114 surat seperti al-quran, melainkan cukup 10 surat saja." Selain itu, ayat ini juga menyuruh orang-orang kafir itu untuk saling menolong satu sama lain baik kepada pemimpin –pemimpin mereka atau pun para Ahli sastra[4] dalam membuat ayat-ayat yang menyerupai al-quran. Namun kini setelah 14 abad berlalu, terbukti tidak ada orang yang mampu membuat satu surat pun yang menyerupai surat dalam al-quran. Hal ini merupakan salah satu dalil bahwa al-quran adalah benar-benar wahyu ilahi.
Jika kalian dan mereka yang membantu kalian tidak mampu membuat tandingan yang sebanding dengan al-Qur'ân, meskipun sekadar dibuat-buat, maka ketahuilah bahwa al-Qur'ân itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan tak seorang pun yang mengetahui ilmu-Nya itu. Dan ketahui pula bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan kecuali Allah. Tak satu pun, selain Allah, yang dapat melakukan pekerjaan-Nya. Dari itu, menyerahlah kalian setelah mendapati bukti yang memuaskan kalian ini, jika kalian memang benar-benar mau mencari kebenaran.
Dalam hal ini Allah SWT juga menantang pada ayat Lainya Yaitu  :
    Q.S Al-Baqorah : 23
قَالوَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (2:23)

Q.S Yunus : 38
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Atau (patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya". Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar". ( 10:38 )

Q.S Ath-Thur : 34
فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ
Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar. ( 52 : 34 )


B.     Penafsiran Al-quran Surat Hud Ayat 15-16

قَالَ مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَوٰةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمٰلَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ ﴿هود:١٥﴾ أُو۟لٰٓئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا۟ فِيهَا وَبٰطِلٌ مَّا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ ﴿هود:١٦﴾
Artinya :
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. (11: 15)
Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. (11: 16)

Kedua ayat ini menjelaskan tentang salah satu akar terpenting dari penentangan terhadap Rasulullah, yaitu masalah duniawi. Kedua ayat ini mengatakan, "Mereka mengejar kehidupan duniawiah dan ingin melakukan segala hal untuk mencari kelezatan hidup di dunia. Untuk itulah, mereka tidak mau mematuhi aturan-aturan Ilahi," Sangat wajar jika orang-orang seperti itu kemudian melangkahkan kakinya keluar dari batas-batas yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Demi kenikmatan hidup di dunia, mereka mau melakukan berbagai dosa dan kezaliman.
Tentu saja, sangat mungkin orang-orang pengejar dunia itu melakukan berbagai kebaikan. Banyak kita temui orang-orang yang dikenal dermawan dan sering melakukan amal kebajikan, namun di saat yang sama mereka pun melakukan korupsi atau melanggar hak-hak orang lain. Motivasi orang-orang pengejar dunia dalam melakukan kebaikan bukanlah keridhaan Allah melainkan keuntungan duniawiah semata. Namun, amal kebaikan mereka itu tidak akan disia-siakan Allah dan Allah tetap memberi mereka balasan, namun terbatas di dunia saja. Kelak di hari akhirat, amal ibadah mereka tidak akan ada artinya.
Mereka itulah orang-orang yang membatasi diri dengan hanya memikirkan kepentingan dunia. Karenanya, di akhirat kelak mereka tidak akan mendapatkan apa-apa selain siksa api neraka. Sungguh, apa yang mereka lakukan di dunia tidak akan mendatangkan manfaat karena, di samping di akhirat nanti mereka tidak mendapatkan bagian apa-apa, juga karena perbuatan mereka itu sendiri pada hakikatnya tidak berguna. Sebab, perbuatan yang tidak memberikan kebahagiaan abadi sebenarnya sama saja dengan tidak pernah ada.[5]


III
KESIMPULAN
Dari Surah Hud ayat 13 – 16  tadi terdapat pelajaran yang dapat kita simpulksn sebagai berikut :
1.      Al-Quran bukanlah hasil dari ilmu filsafat atau ilmu pengetahuan alam manusia, melainkan berasal dari ilmu tak berhingga yang dimiliki Allah Swt. Oleh karena itulah kandungan isinya tidak terbatas oleh masa, tempat, ras, atau generasi.

2.      Kekafiran dan keragu-raguan yang disebarkan oleh musuh-musuh Islam jangan sampai  membuat kita meragukan kebenaran al-Quran dan risalah Nabi Muhammad Saw.

3.      Nilai amal ibadah kita tergantung dari motivasi dan tujuannya. Sebuah perbuatan baik, jika tidak diniatkan untuk mencari ridha, tidak ada artinya di mata Allah.

4.      Tuhan itu adil dan amal baik orang-orang pengejar dunia tidak akan sia-sia saja. Namun, pahala yang diberikan Allah kepada mereka hanya terbatas di dunia yang singkat dan tak bernilai ini. Amal-amal baik tanpa niat demi keridhaan Allah, tidak akan bisa menyelamatkan manusia di alam akhirat kelak.

5.      Para pengejar dunia akan datang ke alam akhirat dengan tangan kosong dan tempat mereka adalah di neraka. Jika mereka hanya mementingkan dunia.




DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul Karim wa tarjamtu Maaniyah ila lughotil Indunisia,  ( Madinah Munawarah : Mujamma Al-Malik Fahd li thiba’at al-Mushaf )
Abdullah Muhammad, Abu, Tafsir Jamiul ahkami Al-Quran ( Maktabah Syamilah : Darul            kitab     Mesir, 2003 )
Manupraba, Wisnu, Tafsirq , diakses dari https://tafsirq.com/11-hud/ayat-16, Pada tanggal 25        Maret pukul 08.12
Muhammad Al-Mahali, Jalaludin dan Abdurahman Assuyuti,  Tafsir Al-Qur’an al-Adzhim Lil .        imaamaini Al-Jalaalaini, (Surabaya : Maktabatu daarur rahman)
Shuhab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Kesan dan keserasian Al-quran ( Jakarta : Lentera .           hati, 2002)



[1] Al-Quranul Karim wa tarjamtu Maaniyah ila lughotil Indunisia,  ( Madinah Munawarah : Mujamma Al-Malik Fahd li thiba’at al-Mushaf )
[2] Jalaludin Muhammad Al-Mahali dan Abdurahman Assuyuti,  Tafsir Al-Qur’an al-Adzhim Lil imaamaini Al-Jalaalaini, (Surabaya : Maktabatu daarur rahman)
[3] M. Quraish Shuhab, Tafsir Al-Misbah, Kesan dan keserasian Al-quran ( Jakarta : Lentera hati, 2002)
[4] Abu Abdulah Muhammad, Tafsir Jamiul ahkami Al-Quran ( Maktabah Syamilah : Darul kitab Mesir, 2003 )
[5] Wisnu Manupraba, Tafsirq , diakses dari https://tafsirq.com/11-hud/ayat-16, Pada tanggal 25 Maret pukul 08.12