Sejarah Mushaf Al-Qur’an Standar Braille
Penelusuran Awal
E.
Badri Yunardi
Puslitbang
Lektur dan Khazanah Keagamaan, Jakarta
Lahirnya mushaf Al-Qur’an Standar
Braille memerlukan proses yang cukup panjang dan melibatkan berbagai pihak
khususnya ulama Al-Qur’an dan para ahli di bidang terkait. Tulisan ini ingin
mengungkap dinamika yang muncul dan berkembang berkaitan dengan pedoman yang
dijadikan dasar dalam penyusunan mushaf ini. Salah satu persoalan krusial yang
mengemuka adalah tentang penggunaan rasm yang dijadikan rujukan, apakah usmani atau imla’i. Selain itu, tulisan ini juga memaparkan secara kronologis
lahirnya Al-Qur’an Standar Braille dari beberapa musyawarah kerja yang
diselenggarakan oleh Kementerian Agama RI.
Kata kunci: Mushaf, Braille, usmani, imla’i.
The birth
of the Quranic Mushaf in Braille Standard requires a long process and involves
many parties, especially the Qur'anic scholars and experts in related fields.
This writing try to reveal the dynamics that emerge and developes relating to
the guideline which becomes the standard in the writing of this Mushaf. One of
the crucial issues being emerged is concerning the use of rasm to be
used as a reference, whether usmani
or imla’i. In addition, this writing
also describes the birth of the Qur'an in Braille Standards chronologically
from several processes of working meetings organized by the Ministry of
Religious Affairs.
Keywords:
Qur’an, Braille, usmani, imla'i.
Pendahuluan
Al-Quran adalah wahyu Allah yang
diberikan kepada Nabi Muhammad saw untuk disampaikan kepada umatnya. Kitab Suci
umat Islam ini senantiasa dijaga kesucian,
kemuliaan dan orisinal-itasnya sebagaimana firman Allah, نﻮﻈﻓﺎﳊ ﻪﻟ ﺎﻧاو ﺮﻛﺬﻟا ﺎﻨﻟﺰﻧ ﻦﳓ ﺎﻧا Inn±
na¥nu
nazzaln± al-©ikr± wa inn± la¥µ la¥±f§µn. (Q.S.
al-¦ijr/15: 9). Pada tingkat
pemerintahan, upaya pemeliharaan kesucian, kemu-liaan dan orisinalitas
Al-Qur'an ini secara fungsinonal dilaksanakan oleh Kementerian Agama RI melalui
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an (selanjutnya disebut “Lajnah”).
Sebelum Lajnah dibentuk secara
kelembagaan, kegiatan pentashihan dilakukan oleh ﺔﻔﻳﺮـﺸﻟا
ﻒﺣﺎـﺼﳌا ﺶﻴــﺘﻔﺗ ﺔـﻨﳉ Lajnah Taftisy
Al-Ma¡±¥if
Asy-Syar³fah dengan 12 anggota terdiri dari
para ulama, yaitu Moh. Adnan, H.
Badawi, Musa Al-Mahfuz, Abdullah Afandi Munawir, Abdul Qadir Munawir, Moh.
Basyir , Ahmad Ma'mur,
Muh.
Arwani, Moh. Umar Khalil, dan Muh. Dahlan.
Keberadaan Lajnah Pentashih
Mushaf Al-Qur'an secara kelembagaan dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri
Agama (PMA) RI No.1 tahun 1957 tentang Pengawasan terhadap Pener-bitan dan
Pemasukan Al-Qur'an, Peraturan Menteri Muda Agama No. 11 Tahun 1959, dan
diperkuat lagi dengan Peraturan Menteri Agama No.1 Tahun 1982. Lajnah Pentashih
Mushaf Al-Qur'an sejak tahun 1975-2007 berada dalam lingkungan Puslitbang
Lektur Keagamaan sebagai lembaga ad hoc.
Pada masa itulah dilahirkan tiga jenis Mushaf Standar, yaitu Mushaf Standar
Usmani (untuk orang awas), Mushaf Standar Bahriyah (untuk para ¥uffā§) dan Mushaf Standar Braille
(untuk tunanetra) dengan ciri atau spesifikasi masing-masing. Mushaf standar
tersebut dihasilkan melalui Musyawarah Kerja Ulama Al-Qur'an yang dilaksanakan
sejak tahun 1974 samapi tahun 1984.
Baru kemudian berdasarkan
Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 2007 dibentuk unit kerja baru bernama
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an sebagai pengembangan dari Puslitbang Lektur
Keagamaan yang secara khusus dan spesifik melaksanakan tugas-tugas yang
berkenaan dengan Al-Qur’an. Berdasarkan Peraturan Menteri Agama No. 3 tahun
2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an
(Lajnah), lembaga ini mempunyai tugas pokok pentashihan, pengkajian, dan
penerbitan Al-Qur'an. Sedangkan fungsi Lajnah berdasarkan Peraturan Menteri
Agama ini secara ringkas adalah melaksanakan perumusan visi dan misi,
perencanaan program dan pelaksanaan kegiatan di bidang pentashihan, pengkajian
dan penerbitan Al-Qur'an, serta penerbitan surat tanda tashih dan surat izin
beredar.
Secara ringkas dapat dipahami
dari PMA tersebut bahwa keberadaan Lajnah kini lebih memperkokoh dan memperluas
cakupan tugas dan tanggung jawabnya secara penuh dalam hal pentashihan,
penerbitan tanda tashih dan izin beredar Al-Qur'an serta memiliki kewenangan
dalam hal menerbitkan Al-Qur'an. Terkait dengan penerbitan Al-Qur'an, ketiga
jenis Mushaf Standar tersebut secara yuridis formal telah ditetapkan
berdasarkan KMA
No. 25 Tahun 1984, tanggal 29 Maret 1984, tentang
Penetapan Mushaf Al-Qur'an Standar, dan Instruksi Menteri Agama No. 7 tanggal
29 Maret 1984, tentang Penggunaan Mushaf Al-Qur'an Standar sebagai Pedoman
dalam Mentashih Al-Qur'an. Dengan kata lain, bahwa Mushaf Standar tersebut
menjadi acuan dalam mentas-hih Al-Qur'an oleh Lajnah serta pedoman dalam
penulisan dan penerbitan Al-Qur'an di Indonesia.
Dengan demikian, Mushaf Standar
Braille Indonesia merupa-kan pedoman dalam penulisan dan pentashihan Al-Qur'an
Braille yang akan diterbitkan dan diedarkan di Indonesia. Penulisan Mushaf
Standar Braille pada hakikatnya mengikuti penulisan Mushaf Standar bagi orang
awas dengan menggunakan rasm usmani. Sedang dalam menyusun atau menulis Mushaf
Standar Braille—begitu juga mushaf standar untuk orang awas—Al-Qur'an
Departemen Agama tahun 1960 disepakati sebagai Al-Qur'an contoh (model). Hanya
saja, karena kekhususannya, ada penge-cualian dalam penggunaan baik rasm,
harakat, maupun tanda baca, demi memudahkan para tunanetra dalam membacanya.
Menuju Proses Penulisan Al-Qur’an Braille
Menelusuri lahirnya Mushaf Al-Qur’an
Braille sudah tentu tidak terlepas dengan nama Louis Braille. Ia lahir pada 4
Januari 1809 di Coupvray, Paris, Prancis. Ayahnya bernama Simon Rene Braille
dan ibunya Monique. Cacat pada matanya terjadi ketika Louis berusia 4 tahun
saat memainkan sebuah Jara—alat bengkel ayahnya—dan secara tidak sengaja
melukai sebelah matanya yang mengakibatkan ia tidak bisa melihat. Infeksi pada
matanya yang terluka menjalar cepat ke sebelah mata lainnya dan mengakibatkan
kebutaan total pada kedua matanya.
Memasuki usia sekolah, Louis
Braille dapat belajar di sekolah anak-anak normal atas dorongan orang tua dan
izin guru sekolah setempat, karena ia memiliki potensi dan kemauan belajar yang
kuat dengan mengandalkan alat pendengarannya. Kendala yang dialami dalam
belajar adalah ia tidak dapat membaca dan menulis pelajaran kecuali hanya
mendengarkan apa yang disampaikan secara lisan oleh gurunya.
Pada usia 10 tahun Louis Braille
mendapat beasiswa untuk belajar di Royal Institution for Blind Youth di Paris,
sebuah lembaga pendidikan khusus bagi anak-anak tunanetra. Ia belajar membaca
huruf-huruf yang dicetak timbul pada kertas dengan cara merabanya. Di sekolah
ini juga terdapat beberapa buku
sistem cetak timbul yang disediakan oleh pendiri
sekolah, Valentin Hauy. Sekolah tempat ia belajar hanya memiliki 14 buku yang
dicetak seperti itu. Dengan kesabarannya Louis Braille mampu membaca semua buku
yang ada di sekolahnya.
Dari pengalamannya itu, Louis
Braille merasa bahwa apa yang dibacanya melalui kode -kode cetak timbul itu
sulit diidentifikasi dan mudah lupa ketika sampai pada akhir suatu kalimat.
Louis Braille yakin pasti ada cara yang lebih mudah sehingga kaum tunanetra
dapat membaca secepat dan semudah orang yang dapat melihat. Atas bantuan dari
Charles Barbier—seorang kapten angkatan bersenjata Prancis—Louis Braille
dipekenalkan kepada penemuannya yang dinamakan night writing (tulisan malam), sebuah kode yang memungkinkan
pasukannya berbagi informasi rahasia di medan perang tanpa perlu berbicara atau
menyalakan cahaya senter untuk membacanya.
Hanya saja, sebagian besar
pasukannya menolak kode-kode tersebut untuk digunakan secara resmi di
pasukannya karena terlalu rumit. Louis Braille yang ketika itu berusia 12 tahun
sadar bahwa kode-kode dengan sistem titik timbul itu amat penting dan sangat
berguna bila dapat disederhanakan. Ia pun lalu melakukan eksperimen dan berhasil
membuat sistem-sistem titik timbul yang berbeda. Dia melakukan eksperimen
selama tiga tahun dan di usianya ke 15 berhasil membangun kode-kode (sistem)
titik timbul dengan 6 titik yang kemudian dinamai huruf Braille. Louis Braille
meninggal, pada tanggal 6 Januari 1852 dalam usia 43 tahun.
Al-Qur’an Braille di Indonesia
Al-Qur’an Braille pertama di
Indonesia1 adalah Al-Qur’an terbitan Yordania tahun 1952 yang dikirim oleh Prof.
Dr. Mahmud Syaltut. Prof. Syaltut membubuhkan tanda tangannya pada sampul
Al-Qur’an ini yang bertarikh tahun 1956. Al-Qur’an
tersebut, jilid 6 berisi 11 surah, yaitu awal Surah al-‘Ankabut ( ﻮﻛﱰﻳ نا سﺎﻨﻟا ﺐﺴﺣا ﱂا نﻮﻨﺘﻔﻳ ﻻ ﻢﻫو ﺎﻨﻣا اﻮﻟﻮﻘﻳ نا) sampai dengan akhir Surah az-Zumar ( ﻲﻀﻗو

1
Disarikan dari makalah Fuady Aziz pada laporan
Musyawarah Kerja Ulama Al-Qur’an ke IV Tahun 1978. Lihat juga http://www.jalancahaya.org/sejarah-perkembangan-al-quran-braille-di-indonesia.html
ﷲ ﺪﻤﳊا ﻞﻴﻗو ﻖﳊﺎﺑ ﻢﻬﻨﻴﺑ ﲔﻤﻠﻌﻟا بر).2 Al-Qur’an Braille lengkap bersyakal itu disahkan oleh
UNESCO pada tahun 1952.
Kemudian pada tahun 1959 Prof.
Syaltut berkunjung ke Indonesia. Karena itu kehadiran Al-Qur’an Braille di
Indonesia boleh jadi tidak dibawa langsung oleh Prof Syaltut melainkan dikirim
ke Perpustakaan Braille Wyata Guna Bandung. Peristiwa ini dapat dijadikan
tonggak sejarah awal masuknya Al-Qur’an Braille di Indonesia.
Perkembangan selanjutnya, pada
tahun 1963, Supardi Abdul Somad3 menerima Al-Qur’an dari A. Arif, Direktur Jenderal Rehabilitasi
Penyandang Cacat Departemen Sosial RI waktu itu. Al-Qur’an Braille ini diambil
dari Perpustakaan Braille Wiyata Guna Bandung. Al-Qur’an Braille tersebut
kemudian dibawa oleh Supardi Abdul Somad ke Perpustakaan Islam Yogyakarta agar
dapat dipelajari.
Supardi Abdul Somad kemudian
menggalang sejumlah tokoh muslim di Yogyakarta, antara lain H. Muqodas dan H.
Moch Sholichin, keduanya dari Perpustakaan Islam Yogyakarta untuk mendirikan
yayasan muslim yang bertujuan menyantuni penyan-dang cacat. Dengan niat
tersebut, pada tanggal 1 Muharam 1383 H/13 Mei 1964 didirikanlah Yayasan
Kesejahteraan Tunanetra Islam (Yaketunis) dengan Supardi Abdul Somad sebagai
ketua4 dan H. Moch Sholichin sebagai wakilnya. Program utama yayasan ini
menyelenggarakan pendidikan dan penerbitan Al-Qur’an Braille.
Menurut informasi lain, Al-Qur’an
Braille di Indonesia sudah ada sejak tahun 1954. Al-Qur’an Braille tersebut
merupakan inventaris Departemen Sosial sebagai sumbangan dari Yordania. Al-Qur’an
ini berhasil dibaca oleh Supardi Abdul Somad dan kemudian ditulis secara manual
oleh Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam (Yaketunis) Yogyakarta. Pada tahun
1973 Al-

2 Fuady Aziz dalam makalahnya
mengutip kata ةرﻮﺳ لوا
ﻦﻣ سدﺎﺴﻟا ﺪﻠ ا ﺪﻴﳎ ناﺮﻗ
ﺮﻣﺰﻟا ةرﻮﺳ ﺮﺧا ﱃا تﻮﺒﻜﻨﻌﻟا
3 Supardi Abdul Somad adalah
seorang tunanetra asal Yogayakarta, pernah nyantri
di Pesantren Krapyak Yogyakarta pada tahun 1940-an dan belajar membaca Al-Qur’an dengan cara menghafal
surat-surat pendek dari santri yang ditugaskan oleh kiainya. Pada tahun 1959 ia
bekerja di kantor sosial Yogyakarta. Pengetahuan tentang huruf Braille
diperoleh dari pelatihan di penampungan RS Mata dr. YAP, sekarang menjadi
Yayasan Mardi Wuto.
4
Ia juga sebagai pemerakarsa berdirinya Pendidikan
Agama Luar Biasa Negeri (PGALB-N) tahun 1967 di Yogyakarta, sekaligus menjabat
sebagai Kepala Sekolah. Ia meningga pada tahun 1975.
Qur’an Braille tersebut diproduksi secara massal
atas pesanan dari Departemen Agama RI.5
Informasi lain menyebutkan bahwa
Al-Qur’an Braille sudah dimiliki oleh perpustakaan Yayasan Penyantun Wyata Guna
Bandung, tanpa menyebutkan tahun berapa Al-Qur’an ini berada di perpustakaan.
Al- Qur’an tersebut tidak pernah ada yang menyentuh karena tidak ada yang
mengetahui bagaimana cara membacanya. Kemudian salah seorang pengajar di Wyata
Guna, Abdullah Yatim Piatu, akhirnya dapat membacanya.6
Berkaitan dengan kehadiran naskah
Al-Quran Braille di Indoneasia, HR Rasikin, salah seorang pimpinan Wyata Guna
Bandung di dalam makalahnya menulis bahwa Al-Quran Braille masuk ke Indonesia
sekitar tahun 1954 yang diterima oleh LPPBI, lembaga di bawah naungan
Departemen Sosial, dan tahun itulah dapat dianggap sebagai saat permulaan
masuknya Al-Qur’an Braille di Indonesia.7 Pada tahun 1956 naskah ini dibawa ke Yogyakarta, karena pada waktu itu
Yogyakarta dianggap mempunyai cukup banyak kegiatan untuk kalangan tunanetra.
Hal ini dapat dikatakan awal permulaan tersebarnya Al-Qur’an Braille di
Indonesia.8
Dari hasil wawancara dengan A.
Arif—ketika ia masih menjabat Direktur Direktorat Kesejahteraan dan
Rehabilitasi Penyandang Cacat Departemen Sosial—diperoleh informasi bahwa
dialah yang membawa naskah tersebut ke Yogyakarta yang kemudian pada waktu
menjabat pimpinan BPPS di jalan Tugu Kidul Yogyakarta, naskah tersebut
diberikan kepada Supardi Abdul Somad, seorang tunanetra yang bekerja sebagai
juru ketik Braille di lembaga tersebut. Dengan kehadiran naskah tersebut,
tulisan Arab Braille timbul di Indonesia. Dari sinilah tunanetra mulai mengenal
huruf Arab Braille yang sebelumnya tidak pernah dijumpai.
Pengenalan pertama terhadap huruf
Arab Braille yang diper-gunakan di dalam naskah Al-Qur’an Braille terbitan
Yordania tersebut dilakukan oleh Supardi Abdul Somad dalam waktu yang cukup
lama. Pada tahun 1963 dia berkenalan dengan seorang

5 Sumber http://www.umv.or.id/?page_id, diakses tanggal 12 Oktober
2011, atas tulisan Yayat Rukhiyat.
6 Ibid.
7
Rasikin, “Mencari Perumusan Huruf Arab Braille
untuk Menulis Al-Qur’an yang Paling Mendekati Penulisan Al-Qur’an Awas”, makalah dalam Laporan Muker Ulama
Al-Qur’an III, hlm. 11.
8 Ibid.
mahasiswa IAIN bernama Dharma Pakilaran (kelahiran
Sulawesi) yang kini menjadi salah seorang pengasuh Yayasan Pendidikan Tunanetra
Indonesia, Ujung Pandang). Sebagai hasil kajian mereka yang sangat gemilang
ini, maka diajarkanlah untuk pertama kalinya kepada seorang siswa tunanetra
dari Riau bernama Warnidah Noor yang kebetulan berada di Yogyakarta sebagai
siswa asuhan dari BPPS, Yogyakarta. Dalam tempo yang tidak terlalu lama ia
dapat membaca seluruh ayat-ayat Al-Qur’an yang ada dalam naskah tersebut.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa sebelum berdirinya Yaketunis di
Yogyakarta, Al-Qur’an Braille sudah mulai dipergunakan dan sekaligus menjadi
pendorong berdirinya Yayasan.
Penerbitan Al-Qur’an Braille di
Indonesia secara terkoordinasi dan dalam jumlah besar dimulai pada saat
pemerintah menyusun program kegiatan di departemen-departemen dengan sistem
program lima tahunan atau dikenal dengan Repelita. Kegiatan itu dimulai sejak
tahun 1973. Melalui program Repelita, pemerintah, dalam hal ini Departemen
Agama, memberikan berbagai bantuan, antara lain berupa peralatan mesin tulis
khusus untuk huruf Braille yang memungkinkan peningkatan kapasitas pengetikan
Al-Qur’an Braille. Dengan peralatan yang sudah modern tersebut, antara tahun
1975-1977 pihak Yaketunis dapat menerbitkan hingga 250 set Al-Qur’an.
Penulisan Al-Qur’an Braille Dengan Rasm Usmani Musyawarah Ulama Al-Qur’an I
diselenggarakan Lembaga
Lektur Keagamaan9 di Ciawi, Bogor. Musyawarah ini merupakan tonggak awal penulisan Al-Qur’an
Standar Indonesia yang menghasilkan beberapa keputusan. Salah satu di antaranya
adalah penulisan Al-Qur’an Braille. Di antara keputusan Muker Ulama


9 Lembaga Lektur Keagamaan merupakan salah satu unit
kerja di lingkungan Departemen Agama RI. Kepala lembaga ini (saat itu) B.
Hamdani Aly, MA, M.Ed. (almarhum). Kemudian lembaga ini berubah nama menjadi
Puslitbang Lektur Agama berdasarkan Keppres RI No. 45 tahun 1974, dan
dijabarkan melalui KMA No. 18 tahun 1975 (yang disempurnakan). Kepala
Puslitbang Lektur Agama pertama H. Sawabi Ihsan, MA. (almarhum). Sejak tahun
1975, Puslitbang Lektur Agama sebagai penyelenggara Muker Ulama Al-Qur’an yang
membahas bersama para ulama Al-Qur’an untuk menyusun Mushaf Standar Usmani
Indonesia. Kini tugas-tugas berkenaan dengan Al- Qur’an ada pada Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. Kepala Lajnah pertama adalah Drs. H. Muhammad
Shohib, MA.
tersebut, yaitu Al-Qur’an ditulis dengan rasm
usmani, kecuali yang menyulitkan,10 ditulis dengan rasm imla’i.
Sebelum lahirnya keputusan Muker
Ulama, Yaketunis Yogyakarta telah menerbitkan Al-Qur’an Braille dengan rasm
imla’i mengikuti Al-Qur’an terbitan Yordania dan Pakistan yang notabene menggunakan rasm imla’i.
Sementara itu Yayasan Penyantun
Wiyata Guna menulis Al-Qur’an Braille dengan rasm yang mendekati rasm usmani,
dan boleh dikatakan sebagai pelopor penulisan atau penerbitan Al-Qur’an Braille
pertama dengan menggunakan rasm usmani.
Mengingat kedua lembaga penerbit
Al-Qur’an Braille tersebut menggunakan cara penulisan yang berbeda (rasm usmani
dan rasm imla’i), maka Departmen Agama c/q Puslitbang Lektur Agama (saat itu)
mengajak keduanya11 untuk berpartisipasi dalam menyatukan dua cara penulisan tersebut
sesuai Keputusan Muker Ulama I Tahun 1974 dengan rasm usmani, dan hal yang
menyulitkan ditulis dengan rasm imla’i.
Kedua lembaga tersebut diminta
menyampaikan paparan (makalah) berkenaan dengan hal tersebut. Pada Muker Ulama
Al-Qur’an II di Cipayung, Bogor, tanggal 21-24 Februari 1976, makalah dari
Yaketunis disampaikan oleh Drs. Fuady Aziz dengan judul “Tanda Baca Al-Qur’an
Awas Apakah Dapat Dijadikan Pedoman Penulisan Al-Qur’an Braille?” Di antara
kesimpulan dari makalah ini, bahwa semua tanda baca yang ada dalam Al-Qur’an
awas bisa dibentuk dengan rumus Arab Braille, tetapi belum tentu semuanya bisa
diterapkan sehingga ‘benar menurut bacaan dan benar menurut tulisan’.12 Pada Muker III tanggal 7 - 9
Februari 1976, HR Rasikin, SMHk. dari Yaysan Penyantun Wyata Guna Bandung
menyampaikan makalah dengan judul “Mencari Perumusan Huruf Arab Braille untuk
Menulis Al-Qur’an yang

10 Yang dimaksud ‘yang menyulitkan’
dalam diktum keputusan tersebut yaitu untuk penulisan Al-Qur’an Braille,
sedangkan sebagai acuan cara penulisannya adalah Al-Qur’an ayat-ayat pojok yang
diterbitkan oleh Menara Kudus yang biasa disebut Al-Qur’an Bahriyah.
11
Kedua lembaga ini bahkan berperan langsung untuk
menyiapkan, membahas bersama, dan merumuskan keputusan Muker Ulama Al-Qur’an
dalam hal standardisasi Al-Qur’an Braille. Beberapa di antaranya adalah HM.
Solichin, Fuady Aziz, Nadjamuddin (Yaketunis) Yogyakarta, dan H. Kasyful Anwar,
Abdullah Yatim Piatu, HR. Rasikin SM.Hk., dan Aan Jumhana (Wyata Guna),
Bandung.
12 Fuady Aziz, makalah pada laporan
Muker Ulama Al-Qur’an II, hlm. 74.
Mendekati Penulisan Al-Qur’an Awas”. Di dalam
makalahnya, HM Rasikin mengemukakan, pertama, tentang penyesuaian penulisan
Al-Qur’an Braille dengan Al-Qur’an untuk orang awas cetakan Departemen Agama RI
tahun 1960, dan kedua, sistem penulisan Al-Qur’an Braille perlu diadakan
peninjauan kembali.13
Berdasarkan hal tersebut,
Puslitbang Lektur Agama secara intensif dan berkelanjutan berupaya
menyeragamkan penulisan dan menyatukan perbedaan tersebut melalui Muker Ulama
Al-Qur’an (Braille) sejak Muker I sampai IX, dengan tahapan sebagai berikut:
1.
Menyusun
pedoman dasar penulisan dan pentashihan.
Muker Ulama Al-Qur’an I di Ciawi, Bogor, 5 - 9
Februari 1974, memutuskan di antaranya: (1) mushaf Al-Qur'an tidak boleh
ditulis selain dengan rasm usmani kecuali dalam keadaan darurat; (2) naskah
Pedoman Penulisan dan Pentashihan Mushaf Al-Qur'an yang disusun oleh Lembaga
Lektur Keagamaan Departeman Agama menurut rasm usmani dijadikan pedoman dalam
penulisan dan pentashihan Al-Qur'an di Indonesia.
2.
Memilih
dan menetapkan Braille Arab, pembahasan harakat dan tanda baca.
Muker Ulama Al-Qur’an II di Cipayung 21 - 24
Februari 1976 memutuskan di antaranya: (1) metode penulisan Arab Braille dari
Unesco setelah dilengkapi dengan tanda-tanda baca untuk Al-Qur'an oleh tiga
negara Islam Yordania, Mesir dan Pakistan, dianggap cukup baik untuk penulisan
Al-Qur'an Arab Braille; (2) diperlukan keseragaman penempatan tanda-tanda baca,
karena masih adanya sedikit perbedaan dalam penempatannya; (3) penyempurnaan
tanda-tanda baca Al-Qur'an Arab Braille, dirintis jalan menuju Al-Qur'an Arab
Braille yang mirip dengan tulisan Al-Qur'an Awas.
3.
Menyusun
rumusan penyeragaman penulisan.
Muker Ulama Al-Qur’an III di Jakarta, 7 - 9
Februari 1977 memutuskan penulisan Al-Qur'an Arab Braille secara rasm usmani,
dan hal yang menyulitkan dipermudah dengan penulisan imla’i.
4. Menulis Al-Qur’an Braille secara
bertahap.
Muker Ulama Al-Qur’an IV di Ciawi 15 - 17 Maret
1978, memutuskan: “menerima hasil rumusan Tim Penulisan Al-Qur'an Braille dalam
bentuk penulisan Al-Qur’an Braille Juz I-

13 HM.Rasikin, makalah pada laporan
Muker Ulama Al-Qur’an III, hlm. 18.
X sebagai Standar Al-Qur'an Braille di Indonesia14 dengan catatan penyempurnaan
dalam rumusan yang lebih represen-tatif serta dilengkapi dengan pembuatan
indeks.
5.
Muker
Ulama Al-Qur’an V di Jakarta 5 - 6 Maret 1979 memutuskan: (1) penulisan
Al-Qur'an Braille dan pedoman penulisanya merupakan pegangan/acuan;15 (2) hal baru dari hasil
penulisan juz XI – XXX perlu dihimpun untuk diteliti.
6.
Menyempurnakan
penulisan tanda-tanda baca, tanda waqaf, dan rasm.
Muker Ulama Al-Qur’an VI di Jakarta 5 - 7 Januari
1980, memutuskan: (1) menyeragamkan dan menyederhanakan peng-gunaan 12 macam
tanda waqaf pada Al-Qur'an Depag terbitan tahun 1960 menjadi 7 macam tanda
waqaf untuk Al-Qur'an Standar; (2) tanda waqaf pada diktum 1 dipergunakan untuk
penulisan Al-Qur'an Usmani dan Bahriyah serta Al-Qur'an Braille. Untuk
Al-Qur'an Braille dikecualikan penggunaan tanda waqaf ( ﻰﻠﺻ dan ﻰﻠﻗ) diganti dengan ص dan ط .
7.
Muker
Ulama Al-Qur’an VII di Ciawi 12 - 14 Januari 1981 memutuskan penegasan
penulisan harakat dan tanda-tanda baca.
8.
Muker
Ulama Al-Qur’an VII di Tugu, Bogor 22 - 24 Januari 1982, memutuskan:
menyempurnakan tanda-tanda baca dan cara penulisan Juz 1 - 30 Al-Qur'an
Braille, sebagai dasar penulisan Al-Qur'an Braille standar.
9.
Muker
Ulama Al-Qur’an VII di Jakarta, 18 - 20 Februari 1983, memutuskan: hasil
penulisan Al-Qur'an Standar Usmani sebagai Al-Qur'an Standar Indonesia, dan
menugaskan kepada Lajnah untuk meneliti Al-Qur’an tersebut guna diluncurkan
pada Muker X di Jakarta.
10.
Muker
Ulama Al-Qur’an VIII di Jakarta, 28 - 30
Maret 1984
menetapkan Al-Qur'an Standar Usmani, Bahriyah, dan Al-

14 Penulisan Al-Qur’an Braille
dikerjakan secara bertahap oleh Yaketunis dan Wyata Guna; Juz 1 - 5 ditulis
Wyata Guna, Juz 6 - 10 ditulis Yaketunis (Tahun 1978) Juz, 16 - 20, Wyata Guna,
16 - 20 Yaketunis (Tahun 1979) dan Juz Juz 21 - 25 Wyata Guna, Juz 26 - 30
Yaketunis. Hasil penulisan itu dilaporkan pada Muker Lajnah.
15 Pedoman penulisan Al-Qur’an
Braille (Juz 1-X) ditulis oleh H. Kasyful Anwar dari Wyata Guna dilaporkan pada
Mukaer IV 1978. Sedangkan sejarah singkat (penulisan) Al-Qur’an Braille di
Indonesia ditulis oleh H. Kasyful Anwar (Wyata Guna) disajikan pada Muker III
Tahun 1977, dan oleh Fuady Aziz (Yaketunis) disajikan pada Muker IV Tahun 1978.
Qur'an Braille hasil Muker Ulama Al-Qur'an I - IX
sebagai Al-Qur'an Standar Indonesia, dan KMA No. 25 tahun 1984 tentang
penetapan 3 buah Al-Qur’an Standar sebagai pedoman dalam pentasihan Al-Qur’an.
Al-Qur’an Braille Pasca-Muker Ulama Al-Qur’an
Dengan ditetapkannya KMA No. 25
tahun 1984, rangkaian sejarah kehadiran dan penulisan Al-Qur’an Braille di
Indonesia sudah tuntas. Dikatakan tuntas karena Departemen (sekarang
Kementerian) Agama c/q Puslitbang Lektur Keagamaan secara yuridis formal telah
mengantarkan sampai hadirnya Al-Qur’an Braille Standar dengan mengacu kepada
hasil-hasil Keputusan Muker Ulama Al-Qur’an yang dilaksanakan selama 9 tahun.
Al-Qur’an Braille yang diterbitkan oleh Departemen Agama sebagai Al-Qur’an
Braille induk hasil Muker Ulama dan Al-Qur’an Braille lainnya yang mengacu
kepada Al-Qur’an Standar tersebut juga sudah banyak diterbitkan para penerbit
Al-Qur’an, termasuk varian lain dalam bentuk Juz Amma dan sebagainya.
Namun demikian hal-hal yang
berkenaan dengan penulisan Al-Qur’an Braille ini dalam kenyataannya masih
mengundang diskusi yang cukup panjang. Diskusi tersebut berlangsung di kalangan
lembaga-lembaga yang mengembangkan Al-Qur’an Braille untuk penerbitan dan
penyebarannya bagi pemenuhan kebutuhan kalangan tunanetra. Lembaga-lembaga
tersebut didirikan antara lain oleh para pelaku sejarah yang ikut melahirkan
dan menyepakati ditetapkannya Mushaf Standar Al-Qur’an Braille. Menurut hemat
penulis, persoalan yang kemudian muncul, antara lain adalah belum rincinya cara
penulisan dan masih ditemukannya perbedaan dalam penulisan yang bersumber dari
Al-Qur’an Braille yang notabene telah
disepakati bersama. Hal ini merupakan babakan baru yang menyatu dengan proses
sejarah sebelumnya.
Kehadiran Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur’an yang telah mengakomodasi dan memfasilitasi berbagai kegiatan
khususnya berkenaan dengan penyempurnaan Al-Qur’an Braille oleh berbagai
lembaga merupakan babakan sejarah lanjutan yang tidak bisa dipisahkan dari
babakan sejarah sebelumnya. Lembaga-lembaga dimaksud seperti BPBI Abioso,
Ikatan Tunantra Muslim Indonesia, dan dua lembaga terdahulu yaitu Yaketunis dan
Wyata Guna yang telah ikut berpartisipasi aktif dalam melahirkan Mushaf Al-Qur’an
Braille di Indonesia. Bersama lembaga ini dan lembaga lain yang mempunyai misi
pemberdayaan kaum tunanetra akan membuka
babakan sejarah yang berkesinambungan. Dalam
kenyataannya, Lajnah Pentahsihan Mushaf Al-Qur’an telah memprogramkannya dalam
bentuk lokakarya dan kegiatan sejenis lainnya.
Beberapa informasi lain terkait dengan Al-Qur’an
Braille:
1.
Pada
tahun 1959 Abdullah Yatim Piatu dari Yayasan Penyantun Wiyata Guna Bandung menulis
Al-Qur’an Braille Juz 1, namun belum sempat disosialisasikan.
2.
Pada
tahun 1963 Drs Margono Pusposuwarno menulis Al-Qur’an Braille Juz 1 dan 30,
dengan huruf Latin.16
3.
Pada
akhir tahun 1964 Yaketunis Yogyakarta mulai menerbit-kan beberapa eksemplar Juz
Amma dan hasilnya dipamerkan pada KIAA di Bandung.
4.
Pada
tahun 1965 Yaketunis mulai menerbitkan Al-Qur’an Braille untuk kalangan
internal. Alat yang digunakan adalah mesin perkins.
5.
Pada
tahun 1966 Yaketunis menerima Al-Qur’an Braille yang dilengkapi dengan harakat isyba’iyah dan tanda waqaf dari
Pakistan. Al-Qur’an ini digunakan untuk menyempurnakan hasil terbitan Al-Qur’an
Braille Yaketunis yang sebelumnya diperoleh dari Yordania. Hasil terbitan ini
mulai dikirimkan ke beberapa lembaga pendidikan tunanetra.
6.
Pada
tahun 1968 Yaketunis Yogyakarta menyerahkan 30 Juz Al-Qur’an Braille kepada
Menteri Agama, untuk kemudian diserahkan kepada Lembaga Lektur Keagamaan c/q
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, untuk ditashih.
7.
Pada
Tahun 1969 Drs Fuady Aziz menyusun Buku Pedoman Penulisan Arab Braille yang
berjudul Qaw±id al-iml± li-Kitabah al-‘Arabiyyah
an-N±firah.
8.
Pada
tahun 16 - 17 Desember 1972, di Bogor, Lajnah mengada-kan rapat kerja untuk
penyiapan tata tertib Lajnah dan draf pedoman penulisan dan pentashihan Al-Qur’an
untuk bahan Muker Ulama I tahun 1974.
9.
Pada
tahun 1974 Wyata Guna menyelenggarakan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) untuk
kalangan tunanetra.
10.
Pada
tahun 1975 Wyata Guna Bandung menyelenggarakan Musyawarah Penulisan Al-Qur’an
dalam Huruf Arab Braille,

16 Al-Qur’an Braille (huruf Latin)
dengan cara mentrasliterasi huruf Arab, ع dengan ng, ط dengan
th, ث dengan ts, خ dengan kh, dan seterusnya.
dihadiri oleh Percetakan Braille Wyata Guna, LPPBI Bandung, dan Majlis
Al-Qur’an Tunanetra (Maqra).17
11.
Pada
tahun 12 - 13 Juni 1975 di Wisma Sejahtera Jakarta, diadakan rapat koordinasi
membahas penulisan Al-Qur’an Braille oleh Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an
Braille, dalam rangka pemesanan Al-Qur’an Braille kepada Yaketunis dan Wyata
Guna Bandung.
12.
Pada
tahun 1976 Yayasan Penyantun Wyata Guna, Bandung menerbitkan Al-Qur’an Braille
dengan menggunakan media plat (Braille
press) dan kertas (Padalarang). Penulisan Al-Qur’an Braille ini menggunakan
rasm usmani sebagai upaya memenuhi keputusan Muker Ulama Al-Qur’an I, tahun
1974 di Ciawi, Bogor.
Data tersebut di atas dan
informasi lainnya yang belum terungkap dapat dijadikan bahan berharga bagi
proses lahirnya Mushaf Al-Qur’an Braille Indonesia yang dilakukan melalui Muker
Ulama Al-Qur’an.
Penutup
Lahirnya Mushaf Al-Qur’an Standar—termasuk
Al-Qur’an Braille Standar—memerlukan proses yang cukup panjang dan melibatkan
berbagai pihak, khususnya ulama Al-Qur’an dan para ahli di bidang terkait. Tahapan-tahapan
proses penulisan Mushaf Standar, substansi yang dibahas, serta person dan
lembaga yang terlibat di dalamnya belum ditulis secara lengkap dalam bentuk
sejarah Mushaf Standar Indonesia. Padahal produk bersejarah tersebut, berupa
tiga jenis Mushaf Al-Qur’an Standar, telah mela-hirkan berbagai jenis, model
dan varian Al-Qur’an yang terus diproduksi dan beredar di kalangan umat Islam
Indonesia.
Bahan-bahan yang bisa dilacak
yaitu dalam bentuk laporan-laporan kegiatan yang di dalamnya memuat berbagai
pidato, makalah, notula, dan catatan perdebatan dan diskusi panjang para
peserta Muker. Hal lain berkenaan dengan berbagai peristiwa, waktu, personal,
khususnya yang termuat di dalam makalah yang disajikan selama 9 kali Muker
merupakan data dan informasi berharga yang harus dikaji dan dianalisis lebih
dalam untuk

17 Puslitbang Lektur Agama, Laporan Muker III, Ulama Al-Qur’an Braille,
hlm. 22
memperkaya dan menjaga keakuratan serta kelengkapan
penyu-sunan sejarah Al-Qur’an Braille di Indonesia. Data tersebut masih harus
dicari hubungan antarperistiwanya sehingga menjadi runtutan peristiwa yang
bersifat kronologis dan dapat dipertanggung-jawabkan.
Sesuatu yang menggembirakan, saat
ini Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an tengah menyusun buku Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur’an Standar yang diharapkan bisa terbit pada tahun 2013. Lebih khusus, sejarah Al-Qur’an
Braille di Indonesia juga selanjutnya perlu disusun, dengan melibatkan berbagai
pihak yang turut serta dalam proses lahirnya Al-Qur’an Braille, di samping
lembaga atau personal lainnya yang bisa memberikan data pedukung.[]
Daftar Pustaka
Puslitbang Lektur Agama, Hasil-hasil Muker Ulama Al-Qur'an I – IX, Jakarta:
Puslitbang Lektur Agama, 1974-1985.
———, Mengenal Mushaf Standar Indonesia, Badan
Litbang Agama, Jakarta, 1985
———, Himpunan Peraturan dan Keputusan Menteri
Agama tentang Lajnah Pentashih Mushaf
Al-Qur'an, Jakarta, 2005
Sullivan, Yoseph E. Biografi of Louis Braille, diunduh tanggal 13-10-2011.
Sudrajat,
Enang, Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia
Sebagai Implementasi Keputusan
Menteri Agama No. 25 Tahun 1984, Makalah Seminar dan Lokakarya Al-Qur’an Braille Tingkat Nasional diselenggarakan oleh
Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia tanggal 29-31 Desember 2010 di Wisma Tanah
Air, Cawang, Jakarta.
Yunardi,
E. Badri, Mengenal Mushaf Standar Uusmani, Sebuah Tinjauan Sejarah
Lahirnya Mushaf, Makalah pada Halaqah Al-Qur’an dan Kebudayaan Islam diselenggarakan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf
al-Qur’an, tgl 28 Februari 2011 di Hotel Desa Wisata, TMII Jakarta.
http://www.jalancahaya.org/sejarah-perkembangan-al-quran-braille-di-indonesia.html, diunduh tanggal 12-10-2011.
http://www.mnblind.org/?id=702&Newsid, diunduh tanggal 12-10-2011.
http://www.umv.or.id/?page_id, diakses tanggal 12 Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar