Selasa, 01 Mei 2018

Metode Tafsir Qur'an


MAKALAH ILMU TAFSIR
METODE TAFSIR




 













Disusun oleh:
Muhammad Rifqy Anisul Fuad
Muhammad Nur Sidiq Wijaya
Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Al-Quran datang ke hadapan kaum Arab kala itu dengan format yang tidak pernah mereka kenal sebelumnya serta keindahan gaya bahasa yang tak tertandingi oleh para tokoh dan pakar bahasa waktu itu. Kitab suci ini telah menantang para pujangga dan tokoh-tokoh penyair Arab untuk membuat tandingan bagi Al-Quran, mulai dari terberat atau membuat satu saja:
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ .(38)
Atau (patutkah) mereka mengatakan: "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar."(Q.S. Yunus : 38),
Al-Quran adalah sumber ajaran Islam. Laksana samudera yang keajaiban dan keunikannya tidak pernah sirna di telan masa, sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan metode yang beraneka ragam. Para ulama telah menulis dan mempersembahkan karya-karya mereka dibidang tafsir ini, dan menjelaskan metode-metode yang digunakan oleh masing-masing tokoh penafsir, metode-metode yang dimaksud adalah metode tahliliy, ijmali, muqaran, dan maudhu’i. [1]
Banyak cara pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan nalar, sehingga akan sangat luas pembahasan apabila kita bermaksud menelusurinya satu demi satu. Untuk itu, agaknya akan lebih mudah dan efesien, pembahasan didalam makalah hanya mengambil empat metode tafsir saja yaitu tahliliy, ijmaliy, muqaran, dan maudhu’i. Pentingnya metode tafsir tahlili, ijmali, muqaran dan maudhu’i dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran adalah untuk membantu dan memudahkan bagi orang yang ingin mempelajari dan memahami ayat Al-Quran itu sendiri. dan mengingat empat metode tersebut telah menjadi pilihan banyak mufassir (ulama tafsir) dalam karyanya.


BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Metode Tafsir

Kata metode berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan gabungan dua kata yakni metha, yang berarti menuju, melalui, mengikuti, dan kata hodos yang berarti jalan, perjalanan, cara, arah. Kata methodos sendiri berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesa ilmiah, uraian ilmiah. Dalam bahasa Inggris, kata tersebut ditulis dengan method dan dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan manhaj atau thariqah. Dalam bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti cara yang teratur terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan juga lainnya), cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai sesuatu yang ditentukan.[2]
Adapun tafsir berasal dari bahasa Arab, fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman dan perincian.[3] Selain itu tafsir berarti al-idlah wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan. Pendapat lain mengatakan bahwa kata tafsir sejajar dengan timbangan (wazan) kata tafil diambil dari kata al-fasr yang berarti al-bayan (penjelasan) dan al-kasyf yang berarti membuka atau menyingkap, dan dapat pula diambil dari kata al-tafsarah, yaitu istilah yang digunakan oleh dokter untuk mengetahui penyakit.
Pengertian  tafsir sebagaimana dikemukakan pakar Alquran tampil dalam formulasi yang berbeda-beda, namun esensinya sama. Iman Al-Zarqani mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan al-Qur’an baik dari segi pemahaman, makna atau arti sesuai di kehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia.[4] Az-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (al-Qur’an), dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung didalamnya.[5] Dengan demikian, secara singkat dapat di ambil suatu pengertian bahwa yang dimaksud dengan model penelitian tafsir adalah suatu contoh, ragam, acuan, atau macam dari penyelidikan secara seksama terhadap penafsiran al-Qur’an yang pernah dilakukan generasi terdahulu untuk diketahui secara pasti tentang berbagai hal.
B. Metode-Metode Penafsiran
Studi atas hasil karya penafsiran para ulama sekarang ini, secara umum menunjukkan bahwa mereka menggunakan metode-metode penafsiran dalam empat cara (metode), yaitu :
§  Ijmaliy (global)
§  Tahlily (analistis),
§  Maudhu’i (tematik)
§  Muqaran (perbandingan),

a.      Tafsir al-Ijmaliy (Global)
Secara harfiah, kata ijmaliy berasal dari kata ajmala yang berarti menyebutkan sesuatu secara tidak terperinci. Kata Ijmaliy secara bahasa artinya ringkasan, ikhtisar global, dan penjumlahan. Tafsir ijmaliy adalah penafsiran al-Quran yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan al-Quran melalui pembahasan yang bersifat umum (global), tampa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak dilakukan secara rinci. Dengan metode ini, mufassir berupaya menjelaskan makna-makna al-Quran dengan uraian singkat dan yang mudah. Sehingga dipahami oleh semua orang, mulai dari orang yang berpengetahuan sekedarnya sampai orang berpengetahuan luas.
Dengan metode ini, mufassir berupaya pula menafsirkan kosa kata al-Quran dengan kosa kata yang berada didalam al-Quran sendiri, sehingga para pembaca melihat uraian tafsirnya tidak jauh dari konteks al-Quran, tidak keluar dari muatan makna yang terkandung dalam al-Quran. Secara garis besar metode tafsir ini tidak berbeda dengan metode model pendekatan analisis. Letak perbedaannya yang menonjol pada aspek wawasannya. Kalau metode analisis operasional penafsirannya tampak hingga mendetail, sedangkan metode global tidak. Uraian penjelasannya lebih ringkas, sederhana dan tidak berbelit-belit. Ciri-ciri yang nampak pada metode ijmaliy adalah mufassirnya langsung menafsirkan al-Quran dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul.[6]



Adapun kelebihan dari metode ijmaliy ini antara lain:
a.       Praktis dan mudah difahami
b.      Bebas dari penafsiran israiliyat
c.       Akrab dengan bahasa al-Qur’an
Kekurangan dari metode ijmaliy ini antara lain:
a.     Menjadikan petunjuk al-Quran bersifat parsial (terbagi tapi tidak mendalam).
b.    Tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.
 Adapun sistematika dalam penulisan tafsir model ini mengikuti susunan ayat-ayat al-Quran. Selain itu mufassir juga mengkaji dan menyajikan sebab turunnya ayat melalui penelitian dengan menggunakan hadis-hadis yang terkait. Tafsir ijmaliy biasanya menjelaskan makna ayat secara berurutan, ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan urutan mushaf utsmani. Adapun kitab-kitab tafsir dengan metode ijmaliy adalah:
1.      Tafsir al-Jalalain, karya jalal al-Din al-Sayuthi dan jalal al-Din al-Mahalli.
2.      Shofwah al-Bayan lima’ani al-Quran, karya Sheikh Husnain Muhamma Mukhlaut.
3.      Tafsir al-Quran Azhim, karya Ustadz Muhammad Farid Majdy.
b .      Tafsir al-Tahliliy (Analisis)
Kata tahliliy berasal dari bahasa arab halalla-yuhalillu-tahlilan yang berarti mengurai atau menganalisa. Tafsir tahliliy ialah menafsirkan al-Qur’an berbasarkan susunan ayat dan surah yang terdapat dalam mushaf. Seorang mufassir, dengan menggunakan metode ini menganalisis setiap kosa kata atu lafal dari aspek bahasa dan makna. Analisis dari aspek bahasa meliputi keindahan susunan kalimat ijaz, badi’, ma’ani, bayan, haqiqat, majaz, kinayah, isti’arah. Dan dari aspek makna meliputi sasaran yang dituju oleh ayat, hukum, aqidah, moral, perintah, larangan, relevansi ayat sebelum dan sesudahnya, hikmah dan lain sebagainya.
Selanjutnya metode Tahlily merupakan metode tafsir al-Quran yang dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dilakukan dengan cara urut dan tertib ayat dan surah sesuai dengan urutan yang terdapat dalam mushaf, yakni dimulai dari surat al-Fatihah, al-Baqarah, Al Imran dan seterusnya hingga surat an-Nas.[7] Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa metode tafsir tahlily merupakan penafsiran ayat al-Quran dengan cara berurutan sesuai urutan surah yang ada pada al-Quran, dengan cara menganalisis dari semua aspek, baik dari segi kosa kata, lafal dari aspek bahasa, serta makna.
Dibandingkan dengan metode tafsir lainnya, metode tahlily adalah metode paling lama. Tafsir ini berasal sejak masa para sahabat Nabi Saw. Pada mulanya terdiri dari tafsiran atas beberapa ayat saja, yang kadang-kadang mencakup penjelasan mengenai kosa katanya saja.
 Dalam penjalanan waktu, para ulama tafsir merasakan kebutuhan adanya tafsir yang mencakup seluruh isi al-Quran. Oleh karena itu akhir abad ke-3 dan pada awal abad ke-4 H (10 M), ahli tafsir ibnu majah, al-Thabari mengkaji seluruh isi al-Quran dan membuat model-model paling maju dari tafsir tahlily ini.
Adapun kelebihan dari metode tafsir tahlily ini adalah:
a.     Ruang lingkupnya luas
b.    Dapat memuat berbagai macam ide
Sedangkan kekurangan dari metode tafsir tahliliy ini adalah:
a)      Menjadikan petunjuk al-Quran parsial (bagian-bagian).
b)      Melahirkan penafsiran yang subjektif.
c)      Kajiannya tidak mendalam.
Berbagai aspek yang dianggap perlu oleh seorang mufasir tahliliy di uraikan, yang tahapan kerjanya yaitu dimulai dari:
1.      Bermula dari kosakata yang terdapat pada setiap ayat yang akan ditafsirkan sebagaimana urutan dalam al-Quran, mulai dari surah al-Fatihah hingga surah an-Nass.
2.      Menjelaskan asbab an-Nuzul  ayat ini dengan menggunakan keterangan yang diberikan oleh hadist (bir Riwayah).
3.      Menjelaskan munasabah atau hubungan ayat yang ditafsirkan dengan ayat sebelumnya atau sesudahnya.
4.      Menjelaskan makna yang terkandung pada setiap potongan ayat dengan menggunakan keterangan yang ada pada ayat lain, atau dengan menggunakan hadis Rasulullah Saw atau dengan mengguanakan penalaran rasional atau berbagai disiplin ilmu sebagai sebuah pendekatan.
5.      Menarik kesimpulan dari ayat tersebut yang berkenaan dengan hukum mengenai suatu masalah, atau lainnya sesuai dengan kandungan ayat tersebut.



Di antara buku tafsir yang menggunakan metode tahliliy adalah:
-          Tafsir al-Khazin (al-Khazin)
-          Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim (Ibnu Katsir)
-          Ma’alim al- Tanzil (al -Baghawi)

c.       Tafsir al-Maudhu’i (tematik)
Tafsir maudhu’i yaitu menafsirkan al-Quran dengan langkah-langkah tertentu yang dimulai dengan menentukan topik sampai memberikan kesimpulan atau jawaban akhir bagi permasalahan yang dibahas. Arti dari kata maudhu’i adalah topik atau materi suatu pembicaraan atau pembahasan secara tematik. Jadi tafsir al-Maudhu’i adalah tafsir yang membahas masalah-masalah al-Quran yang memiliki kesatuan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya yang bisa juga disebut dengan metode tauhidi (kesatuan) untuk kemudian melakukan penalaran (analisis) terhadap isi kandungannya serta menghubung-hubungkannya antara satu dengan yang lain.[8]
Langkah-langkah metode tafsir maudhu’i adalah sebagai berikut:
1.      Meenetapkan masalah yang akan dibahas (topik)
2.      Menghimpun ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
3.      Mengurutkan tertib, sebab turunnya ayat berdasarkan masa turunnya.
4.      Mempelajari penafsiran al-Quran yang telah dihimpun.
5.      Kemudian mufassir mengarahkan pembahasan kepada metode tafsir ijmaliy dalam memaparkan berbagai pemikiran.
6.      Membahas unsur-unsur dan makna-makna serta mengkaitkannya sedemikian rupa berdasarkan metode ilmiah yang sistematis.
7.      Memaparkan kesimpulan tentang hakikat jawaban al-Quran terhadap topik permasalahan yang dibahas.




Sebagian kitab-kitab tafsir yang memakai metode maudhu’i antara lain sebagai berikut:
     Al-Insan fi Al-Qur’an Al-Karim (DR. Ibrahim Mahnan).
     Al-Mar’ah fi Al-Qur’an Al-Karim (Abbas Mahmud al-‘Aqqad)
     Ar-Riba fi Al-Qur’an Al-Karim (abu A’la al-Maududy)
     Al-Aqidah fi Al-Qur’an Al-Karim (Muhammad Abu Zahrah)
     Washaya Surat al-Isra’ (DR. Abd Al-Hayy Al-Farmawi).
Adapun kelebihan/keistimewaan dari metode tafsir maudhu’i antara lain:
-          Menghindari problem atau kelemahan metode lain.
-          Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis, satu cara terbaik dalam menafsirkan al-Quran.
-          Kesimpulan yang mudah dipahami.
-          Metode ini memungkinkan seorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam al-Quran.
-          Menjawab tantangan zaman
-          Praktis dan sistematis
-          Dinamis
-          Membuat pemahan menjadi utuh.
Selain kelebihan diatas, metode tafsir maudhu’i mempunyai kekurangan yakni:
a)      Memenggal ayat al-quran.
b)      Membatasi pemahaman ayat.

d.      Tafsir al-Muqaran (Perbandingan)
Secara harfiah, muqaran berarti membandingkan. Secara istilah, tafsir muqaran berarti suatu metode atau teknik menafsirkan al-Quran dengan cara membandingkan pendapat seorang mufassir dengan mufassir lainnya mengenai tafsir sejumlah ayat.  Tafsir muqaran yaitu membandingkan suatu ayat dengan ayat lainnya, atau perbandingan antara ayat dengan hadis. Yang diperbandingkan itu adalah ayat dengan ayat atau ayat dengan hadis. Nashruddin Baidan berpendapat bahwa tafsir muqaran adalah menafsirkan sekelompok ayat al-Quran atau suatu surat tertentu denan cara membandingkan antara ayat dengan ayat dengan ayat atau surah dengan hadis, atau antara pendapat ulama dengan ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu dari objek yang membandingkan.[9]
Ada beberapa tahap yang dilalui dalam menggunakan metode tafsir  muqaran yang membandingkan tafsir para ulama tersebut, yaitu:
a.       Menentukan sejumlah ayat yang akan ditafsirkan.
b.      Mengumpulkan dan mengemukakan pendapat para ulama tafsir mengenai pengertian ayat tersebut.
c.      Melakukan analisis perbandingan terhadap pendapat-pendapat para mufassir dengan menjelaskan corak penafsirannya. Apakah bercorak bi al-ma’tsur, bi ra’yi dan lain sebagainya.
d.      Menentukan sikap dengan menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak dapat diterimanyaa. Hal ini tentu saja dengan mengemukakan sejumlah argumen kenapa ia mendukung suatu tafsir dan menolak yang lainnya.
Tafsir muqaran memiliki kelebihan yaitu, bersifar objektif, kritis dan berwawasan luas. Sedangkan kelemahannya antara lain terletak pada kenyataannya bahwa metode tafsir muqaran tidak bisa di gunakan untuk menafsirkan semua ayat al-Quran seperti halnya pada tafsir ijmali dan tahlili.[10] Sedangkan pendapat lain juga mengelompokkan kelebihan dan kekurangan dari metode ini, adapun kelebihannya antara lain:
-         Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas bagi para pembaca dari metode-metode lain.
-         Membuka pintu untuk bersikap toleran atas pendapat-pendapat yang berbeda mengenai suatu permasalahan.
-         Mendorong seorang penafsir untuk mengkaji penafsiran-penafsiran ulama lain mengenai suatu ayat ataupun dalam suatu permasalahan.
Sedangkan kekurangannya antara lain:
-          Penafsiran dengan metode ini tidak cocok untuk pemula.
-        Penafsirannya kurang dapat memecahkan permasalahan yang ada ataupun sedang dihadapi.
-       Cenderung hanya melihat penafsiran-penafsiran ulama terdahulu sehingga tidak menghasilkan penafsiran-penafsiran baru.

Objek kajian tafsir ini dikelompokan menjadi tiga:
1.      Perbandingan ayat al-Quran dengan ayat lain
Mufassir membandingkan ayat al-Quran dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan dengan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang diduga sama. Objek kajian tafsir ini hanya terletak pada persoalan redaksi ayat-ayat al-Quran bukan dalam bidang makna.
2.      Perbandingan ayat al-Quran dengan Hadis
Dalam melakukan perbandingan ayat al-Quran dengan hadis yang terkesan berbeda atau bertentangan ini, langkah pertama yang harus ditempuh adalah menentukan nilai hadis yang akan diperbandingkan dengan ayat al-Quran. Hadis itu haruslah shahih. Hadits dhaif tidak dibandingkan karena disamping nilai otentitasnya rendah, dia justru semakin tertolak karena pertentangannya dengan ayat al-Quran. Setelah itu mufassir melakukan analisis terhadap latar belakang terjadinya perbedaan atau pertentangan antara keduanya.
3.      Perbandingan penafsiran mufassir dengan mufassir lain
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran tertentu ditemukan adanya perbedaan diantara hasil ijtihad, latar belakang sejarah, wawasan, dan sudut pandang masing-masing. Sedangkan dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang lain, mufassir berusaha mencari, mengali, menemukan, dan mencari titik temu diantara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.

Di antara buku tafsir yang menggunakan metode muqaran adalah: Kitab Durrah al-Tanzil wa al-Gurrah al-Ta‘wil karya al-Iskafi yang mengkaji perbandingan antara ayat dengan ayat, Jami‘ Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi, kitab ini membandingkan penafsiran para mufassir.








BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
1.      Metode tafsir al-Quran adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Quran.
2.      Metode-metode penafsiran dibagi dalam  empat cara (metode), yaitu :
a.       Metode Ijmali (Global) adalah  suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. 
b.      Metode Tahliliy (analisis) adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
c.       Metode Muqaran (Komparatif/Perbandingan) adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan merujuk pada penjelasan-penjelasan para mufassir.
d.      Metode Maudhu’iy (Tematik) adalah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan.
B.     SARAN
Penyusun sangat menyadari bahwa didalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penyusun menyarankan kepada semua pihak yang membaca dan membahas makalah ini, agar bisa lebih banyak lagi menambah literature-literatur supaya dapat menambah pengetahuan kita perhadap Tafsir Al-Qur’an. Yang tentunya masih banyak referensi-referensi terhadap makalah yang kami tulis ini.

DAFTAR PUSTAKA
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Quran, Cet.I, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002),
M. Hasybiy as Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur'an dan Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang Indonesia,(1992)
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Metologi Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), cet.XVIII
Ahmad Syadali Dan Ahmad Rofi’i, Ulum Quran II, (Bandung: Pustaka Setia, 997),
Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002), 





[1]  Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Quran, Cet.I, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002),

[2]  M. Hasybiy as Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur'an dan Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang Indonesia,           (1992), h. 178.
[3]  Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Metologi Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), cet.XVIII, hlm. 209.
[4]  Ibid, hlm. 210
[5]  Ibid, hlm. 210
[6]  Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Quran,, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h.73
[7] Ahmad Syadali Dan Ahmad Rofi’i, Ulum Quran II, (Bandung: Pustaka Setia, 997), h. 67.
[8] Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002),  h.127-128.
[9]  Nasaruddin Baidan, Op Cit., h. 73
[10]  Amin Suma, Op Cit., h. 127

Tidak ada komentar:

Posting Komentar