MAKALAH ILMU TAFSIR
METODE
TAFSIR
Disusun oleh:
Muhammad Rifqy Anisul Fuad
Muhammad Nur Sidiq Wijaya
Institut Perguruan Tinggi Ilmu
Al-Qur’an
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran datang ke hadapan kaum Arab
kala itu dengan format yang tidak pernah mereka kenal sebelumnya serta
keindahan gaya bahasa yang tak tertandingi oleh para tokoh dan pakar bahasa
waktu itu. Kitab suci ini telah menantang para pujangga dan tokoh-tokoh penyair
Arab untuk membuat tandingan bagi Al-Quran, mulai dari terberat atau membuat
satu saja:
أَمْ
يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ
اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ .(38)
Atau (patutkah)
mereka mengatakan: "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah:
"(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat
seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk
membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar."(Q.S. Yunus :
38),
Al-Quran adalah sumber ajaran Islam.
Laksana samudera yang keajaiban dan keunikannya tidak pernah sirna di telan
masa, sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan metode yang beraneka
ragam. Para ulama telah menulis dan mempersembahkan karya-karya mereka dibidang
tafsir ini, dan menjelaskan metode-metode yang digunakan oleh masing-masing
tokoh penafsir, metode-metode yang dimaksud adalah metode tahliliy, ijmali,
muqaran, dan maudhu’i. [1]
Banyak cara pendekatan dan corak
tafsir yang mengandalkan nalar, sehingga akan sangat luas pembahasan apabila
kita bermaksud menelusurinya satu demi satu. Untuk itu, agaknya akan lebih
mudah dan efesien, pembahasan didalam makalah hanya mengambil empat metode
tafsir saja yaitu tahliliy, ijmaliy, muqaran, dan maudhu’i.
Pentingnya metode tafsir tahlili, ijmali, muqaran dan maudhu’i
dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran adalah untuk membantu dan memudahkan bagi
orang yang ingin mempelajari dan memahami ayat Al-Quran itu sendiri. dan
mengingat empat metode tersebut telah menjadi pilihan banyak mufassir
(ulama tafsir) dalam karyanya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Metode Tafsir
Kata metode berasal
dari bahasa Yunani, yang merupakan gabungan dua kata yakni metha, yang
berarti menuju, melalui, mengikuti, dan kata hodos yang
berarti jalan, perjalanan, cara, arah. Kata methodos
sendiri berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesa ilmiah, uraian ilmiah.
Dalam bahasa Inggris, kata tersebut ditulis dengan method dan dalam
bahasa Arab diterjemahkan dengan manhaj atau thariqah.
Dalam bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti cara yang teratur terpikir
baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan juga lainnya), cara
kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai
sesuatu yang ditentukan.[2]
Adapun
tafsir berasal dari bahasa Arab, fassara, yufassiru, tafsiran yang
berarti penjelasan, pemahaman dan perincian.[3]
Selain itu tafsir berarti al-idlah wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan
keterangan. Pendapat lain mengatakan bahwa kata tafsir sejajar dengan timbangan
(wazan) kata tafil diambil dari kata al-fasr yang berarti al-bayan
(penjelasan) dan al-kasyf yang berarti membuka atau menyingkap, dan
dapat pula diambil dari kata al-tafsarah, yaitu istilah yang digunakan
oleh dokter untuk mengetahui penyakit.
Pengertian tafsir sebagaimana dikemukakan pakar Alquran
tampil dalam formulasi yang berbeda-beda, namun esensinya sama. Iman Al-Zarqani
mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan al-Qur’an baik dari
segi pemahaman, makna atau arti sesuai di kehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan
manusia.[4]
Az-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui
kandungan kitabullah (al-Qur’an), dengan cara mengambil penjelasan
maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung didalamnya.[5]
Dengan demikian, secara singkat dapat di ambil suatu pengertian bahwa yang
dimaksud dengan model penelitian tafsir adalah suatu contoh, ragam, acuan, atau
macam dari penyelidikan secara seksama terhadap penafsiran al-Qur’an yang
pernah dilakukan generasi terdahulu untuk diketahui secara pasti tentang
berbagai hal.
B. Metode-Metode Penafsiran
Studi atas hasil karya penafsiran
para ulama sekarang ini, secara umum menunjukkan bahwa mereka menggunakan
metode-metode penafsiran dalam empat cara (metode), yaitu :
§ Ijmaliy (global)
§ Tahlily (analistis),
§ Maudhu’i (tematik)
§ Muqaran (perbandingan),
a. Tafsir al-Ijmaliy
(Global)
Secara harfiah, kata ijmaliy berasal
dari kata ajmala yang berarti menyebutkan sesuatu secara tidak
terperinci. Kata Ijmaliy secara bahasa artinya ringkasan, ikhtisar global,
dan penjumlahan. Tafsir ijmaliy adalah penafsiran al-Quran yang dilakukan
dengan cara mengemukakan isi kandungan al-Quran melalui pembahasan yang
bersifat umum (global), tampa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas,
juga tidak dilakukan secara rinci. Dengan metode ini, mufassir berupaya
menjelaskan makna-makna al-Quran dengan uraian singkat dan yang mudah. Sehingga
dipahami oleh semua orang, mulai dari orang yang berpengetahuan sekedarnya
sampai orang berpengetahuan luas.
Dengan metode ini, mufassir berupaya
pula menafsirkan kosa kata al-Quran dengan kosa kata yang berada didalam
al-Quran sendiri, sehingga para pembaca melihat uraian tafsirnya tidak jauh
dari konteks al-Quran, tidak keluar dari muatan makna yang terkandung dalam
al-Quran. Secara garis besar metode tafsir ini tidak berbeda dengan metode model
pendekatan analisis. Letak perbedaannya yang menonjol pada aspek wawasannya.
Kalau metode analisis operasional penafsirannya tampak hingga mendetail,
sedangkan metode global tidak. Uraian penjelasannya lebih ringkas, sederhana
dan tidak berbelit-belit. Ciri-ciri yang nampak pada metode ijmaliy adalah
mufassirnya langsung menafsirkan al-Quran dari awal sampai akhir tanpa
perbandingan dan penetapan judul.[6]
Adapun kelebihan dari metode
ijmaliy ini antara lain:
a. Praktis dan
mudah difahami
b.
Bebas dari
penafsiran israiliyat
c.
Akrab dengan
bahasa al-Qur’an
Kekurangan dari metode
ijmaliy ini antara lain:
a. Menjadikan petunjuk
al-Quran bersifat parsial (terbagi tapi tidak mendalam).
b. Tidak ada
ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.
Adapun sistematika dalam penulisan tafsir
model ini mengikuti susunan ayat-ayat al-Quran. Selain itu mufassir juga
mengkaji dan menyajikan sebab turunnya ayat melalui penelitian dengan
menggunakan hadis-hadis yang terkait. Tafsir ijmaliy biasanya menjelaskan makna
ayat secara berurutan, ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan urutan
mushaf utsmani. Adapun kitab-kitab tafsir dengan metode ijmaliy adalah:
1. Tafsir
al-Jalalain, karya jalal al-Din al-Sayuthi dan jalal al-Din
al-Mahalli.
2. Shofwah
al-Bayan lima’ani al-Quran, karya Sheikh Husnain Muhamma
Mukhlaut.
3. Tafsir
al-Quran Azhim, karya Ustadz Muhammad Farid Majdy.
b . Tafsir al-Tahliliy (Analisis)
Kata tahliliy berasal dari bahasa
arab halalla-yuhalillu-tahlilan yang berarti mengurai atau menganalisa.
Tafsir tahliliy ialah menafsirkan al-Qur’an berbasarkan susunan ayat dan surah
yang terdapat dalam mushaf. Seorang mufassir, dengan menggunakan metode ini
menganalisis setiap kosa kata atu lafal dari aspek bahasa dan makna. Analisis
dari aspek bahasa meliputi keindahan susunan kalimat ijaz, badi’, ma’ani,
bayan, haqiqat, majaz, kinayah, isti’arah. Dan dari aspek makna meliputi
sasaran yang dituju oleh ayat, hukum, aqidah, moral, perintah, larangan,
relevansi ayat sebelum dan sesudahnya, hikmah dan lain sebagainya.
Selanjutnya metode Tahlily merupakan
metode tafsir al-Quran yang dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dilakukan
dengan cara urut dan tertib ayat dan surah sesuai dengan urutan yang terdapat
dalam mushaf, yakni dimulai dari surat al-Fatihah, al-Baqarah, Al Imran dan
seterusnya hingga surat an-Nas.[7]
Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa metode tafsir tahlily merupakan
penafsiran ayat al-Quran dengan cara berurutan sesuai urutan surah yang ada
pada al-Quran, dengan cara menganalisis dari semua aspek, baik dari segi kosa
kata, lafal dari aspek bahasa, serta makna.
Dibandingkan dengan metode tafsir
lainnya, metode tahlily adalah metode paling lama. Tafsir ini berasal sejak
masa para sahabat Nabi Saw. Pada mulanya terdiri dari tafsiran atas beberapa
ayat saja, yang kadang-kadang mencakup penjelasan mengenai kosa katanya saja.
Dalam penjalanan waktu, para ulama tafsir
merasakan kebutuhan adanya tafsir yang mencakup seluruh isi al-Quran. Oleh
karena itu akhir abad ke-3 dan pada awal abad ke-4 H (10 M), ahli tafsir ibnu
majah, al-Thabari mengkaji seluruh isi al-Quran dan membuat model-model paling
maju dari tafsir tahlily ini.
Adapun kelebihan dari metode
tafsir tahlily ini adalah:
a. Ruang
lingkupnya luas
b. Dapat memuat
berbagai macam ide
Sedangkan kekurangan dari
metode tafsir tahliliy ini adalah:
a) Menjadikan
petunjuk al-Quran parsial (bagian-bagian).
b) Melahirkan
penafsiran yang subjektif.
c) Kajiannya
tidak mendalam.
Berbagai aspek yang dianggap perlu
oleh seorang mufasir tahliliy di uraikan, yang tahapan kerjanya yaitu
dimulai dari:
1. Bermula dari
kosakata yang terdapat pada setiap ayat yang akan ditafsirkan sebagaimana
urutan dalam al-Quran, mulai dari surah al-Fatihah hingga surah an-Nass.
2. Menjelaskan asbab
an-Nuzul ayat ini dengan menggunakan
keterangan yang diberikan oleh hadist (bir Riwayah).
3. Menjelaskan
munasabah atau hubungan ayat yang ditafsirkan dengan ayat sebelumnya atau
sesudahnya.
4. Menjelaskan
makna yang terkandung pada setiap potongan ayat dengan menggunakan keterangan
yang ada pada ayat lain, atau dengan menggunakan hadis Rasulullah Saw atau
dengan mengguanakan penalaran rasional atau berbagai disiplin ilmu sebagai
sebuah pendekatan.
5. Menarik
kesimpulan dari ayat tersebut yang berkenaan dengan hukum mengenai suatu
masalah, atau lainnya sesuai dengan kandungan ayat tersebut.
Di antara buku tafsir yang
menggunakan metode tahliliy adalah:
-
Tafsir al-Khazin (al-Khazin)
-
Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim (Ibnu
Katsir)
-
Ma’alim al- Tanzil (al -Baghawi)
c. Tafsir al-Maudhu’i (tematik)
Tafsir maudhu’i yaitu menafsirkan
al-Quran dengan langkah-langkah tertentu yang dimulai dengan menentukan topik
sampai memberikan kesimpulan atau jawaban akhir bagi permasalahan yang dibahas.
Arti dari kata maudhu’i adalah topik atau materi suatu pembicaraan atau
pembahasan secara tematik. Jadi tafsir al-Maudhu’i adalah tafsir yang membahas
masalah-masalah al-Quran yang memiliki kesatuan makna atau tujuan dengan cara
menghimpun ayat-ayatnya yang bisa juga disebut dengan metode tauhidi (kesatuan)
untuk kemudian melakukan penalaran (analisis) terhadap isi kandungannya serta
menghubung-hubungkannya antara satu dengan yang lain.[8]
Langkah-langkah metode tafsir
maudhu’i adalah sebagai berikut:
1. Meenetapkan
masalah yang akan dibahas (topik)
2. Menghimpun
ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
3. Mengurutkan
tertib, sebab turunnya ayat berdasarkan masa turunnya.
4. Mempelajari
penafsiran al-Quran yang telah dihimpun.
5. Kemudian
mufassir mengarahkan pembahasan kepada metode tafsir ijmaliy dalam memaparkan
berbagai pemikiran.
6. Membahas
unsur-unsur dan makna-makna serta mengkaitkannya sedemikian rupa berdasarkan
metode ilmiah yang sistematis.
7. Memaparkan
kesimpulan tentang hakikat jawaban al-Quran terhadap topik permasalahan yang
dibahas.
Sebagian kitab-kitab tafsir yang
memakai metode maudhu’i antara lain sebagai berikut:
დ Al-Insan fi Al-Qur’an Al-Karim (DR. Ibrahim Mahnan).
დ Al-Mar’ah fi Al-Qur’an Al-Karim (Abbas Mahmud al-‘Aqqad)
დ Ar-Riba fi Al-Qur’an Al-Karim (abu A’la al-Maududy)
დ Al-Aqidah fi Al-Qur’an Al-Karim (Muhammad Abu Zahrah)
დ Washaya Surat al-Isra’ (DR. Abd Al-Hayy Al-Farmawi).
Adapun kelebihan/keistimewaan dari
metode tafsir maudhu’i antara lain:
-
Menghindari problem
atau kelemahan metode lain.
-
Menafsirkan
ayat dengan ayat atau dengan hadis, satu cara terbaik dalam menafsirkan
al-Quran.
-
Kesimpulan
yang mudah dipahami.
-
Metode ini
memungkinkan seorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan
dalam al-Quran.
-
Menjawab
tantangan zaman
-
Praktis dan
sistematis
-
Dinamis
-
Membuat
pemahan menjadi utuh.
Selain kelebihan diatas, metode
tafsir maudhu’i mempunyai kekurangan yakni:
a) Memenggal
ayat al-quran.
b) Membatasi
pemahaman ayat.
d. Tafsir al-Muqaran (Perbandingan)
Secara harfiah, muqaran
berarti membandingkan. Secara istilah, tafsir muqaran berarti suatu metode atau
teknik menafsirkan al-Quran dengan cara membandingkan pendapat seorang mufassir
dengan mufassir lainnya mengenai tafsir sejumlah ayat. Tafsir muqaran yaitu membandingkan suatu ayat
dengan ayat lainnya, atau perbandingan antara ayat dengan hadis. Yang
diperbandingkan itu adalah ayat dengan ayat atau ayat dengan hadis. Nashruddin
Baidan berpendapat bahwa tafsir muqaran adalah menafsirkan sekelompok ayat
al-Quran atau suatu surat tertentu denan cara membandingkan antara ayat dengan
ayat dengan ayat atau surah dengan hadis, atau antara pendapat ulama dengan
ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu dari objek yang
membandingkan.[9]
Ada beberapa tahap yang
dilalui dalam menggunakan metode tafsir
muqaran yang membandingkan tafsir para ulama tersebut, yaitu:
a.
Menentukan sejumlah ayat yang akan ditafsirkan.
b.
Mengumpulkan dan mengemukakan pendapat para ulama tafsir mengenai
pengertian ayat tersebut.
c. Melakukan analisis perbandingan terhadap pendapat-pendapat para mufassir
dengan menjelaskan corak penafsirannya. Apakah bercorak bi al-ma’tsur, bi
ra’yi dan lain sebagainya.
d.
Menentukan sikap dengan menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak
penafsiran yang tidak dapat diterimanyaa. Hal ini tentu saja dengan
mengemukakan sejumlah argumen kenapa ia mendukung suatu tafsir dan menolak yang
lainnya.
Tafsir muqaran memiliki
kelebihan yaitu, bersifar objektif, kritis dan berwawasan luas. Sedangkan
kelemahannya antara lain terletak pada kenyataannya bahwa metode tafsir
muqaran tidak bisa di gunakan untuk menafsirkan semua ayat al-Quran seperti
halnya pada tafsir ijmali dan tahlili.[10]
Sedangkan pendapat lain juga mengelompokkan kelebihan dan kekurangan dari
metode ini, adapun kelebihannya antara lain:
- Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas bagi para pembaca
dari metode-metode lain.
- Membuka pintu untuk bersikap toleran atas pendapat-pendapat yang berbeda
mengenai suatu permasalahan.
- Mendorong seorang penafsir untuk mengkaji penafsiran-penafsiran ulama lain
mengenai suatu ayat ataupun dalam suatu permasalahan.
Sedangkan kekurangannya
antara lain:
-
Penafsiran dengan metode ini tidak cocok untuk pemula.
-
Penafsirannya kurang dapat memecahkan permasalahan yang ada ataupun sedang
dihadapi.
- Cenderung hanya melihat penafsiran-penafsiran ulama terdahulu sehingga
tidak menghasilkan penafsiran-penafsiran baru.
Objek kajian tafsir ini
dikelompokan menjadi tiga:
1.
Perbandingan ayat al-Quran dengan ayat lain
Mufassir membandingkan
ayat al-Quran dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan dengan
redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang diduga sama. Objek kajian
tafsir ini hanya terletak pada persoalan redaksi ayat-ayat al-Quran bukan dalam
bidang makna.
2.
Perbandingan ayat al-Quran dengan Hadis
Dalam melakukan
perbandingan ayat al-Quran dengan hadis yang terkesan berbeda atau bertentangan
ini, langkah pertama yang harus ditempuh adalah menentukan nilai hadis yang
akan diperbandingkan dengan ayat al-Quran. Hadis itu haruslah shahih. Hadits
dhaif tidak dibandingkan karena disamping nilai otentitasnya rendah, dia justru
semakin tertolak karena pertentangannya dengan ayat al-Quran. Setelah itu
mufassir melakukan analisis terhadap latar belakang terjadinya perbedaan atau
pertentangan antara keduanya.
3.
Perbandingan penafsiran mufassir dengan mufassir lain
Dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Quran tertentu ditemukan adanya perbedaan diantara hasil ijtihad,
latar belakang sejarah, wawasan, dan sudut pandang masing-masing. Sedangkan
dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang lain, mufassir
berusaha mencari, mengali, menemukan, dan mencari titik temu diantara
perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat
setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.
Di antara buku tafsir yang
menggunakan metode muqaran adalah: Kitab Durrah
al-Tanzil wa al-Gurrah al-Ta‘wil karya al-Iskafi yang mengkaji perbandingan
antara ayat dengan ayat, Jami‘ Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi, kitab
ini membandingkan penafsiran para mufassir.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Metode tafsir al-Quran
adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman
yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Quran.
2.
Metode-metode penafsiran
dibagi dalam empat cara (metode), yaitu
:
a.
Metode Ijmali (Global) adalah suatu metoda tafsir yang
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global.
b.
Metode Tahliliy (analisis) adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang
terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan
makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan
mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
c.
Metode Muqaran (Komparatif/Perbandingan) adalah menjelaskan ayat-ayat
Al-Qur’an dengan merujuk pada penjelasan-penjelasan para mufassir.
d.
Metode Maudhu’iy (Tematik) adalah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah
ditetapkan.
B. SARAN
Penyusun sangat menyadari bahwa didalam penyusunan
makalah ini masih banyak kekurangan, dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, penyusun menyarankan kepada semua pihak yang membaca dan membahas
makalah ini, agar bisa lebih banyak lagi menambah literature-literatur supaya
dapat menambah pengetahuan kita perhadap Tafsir Al-Qur’an. Yang tentunya masih
banyak referensi-referensi terhadap makalah yang kami tulis ini.
DAFTAR PUSTAKA
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Quran,
Cet.I, (Yogjakarta:
Pustaka Pelajar, 2002),
M. Hasybiy as Shiddiqiy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Al Qur'an dan Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang Indonesia,(1992)
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Metologi
Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), cet.XVIII
Ahmad Syadali
Dan Ahmad Rofi’i, Ulum Quran II, (Bandung: Pustaka Setia, 997),
Amin Suma, Pengantar
Tafsir Ahkam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002),
Tidak ada komentar:
Posting Komentar