BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana kita tahu ilmu hadits dalam
pembagiannya memiliki banyak sekali cabang –cabang yang membahas tentang
hal-hal yang berkaitan dengan hadits. Ilmu-ilmu tersebut sangat penting untuk
diketahui apalagi bagi orang-orang yang menekuni bidang hadits, karena dapat
membantu dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan hadits.
Salah satu dari ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu mukhtalif al-hadits. Ilmu
ini membahas tentang hadits-hadits yang secara lahir saling bertentangan antara
satu dengan yang lain. Pertentangan tersebut terkadang membuat orang-orang yang
menekuni hadits menjadi bingung tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dalam
hadits-hadits tersebut. Karena hal inilah para tokoh hadits berpikir
tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Akhirnya ditemukanlah ilmu mukhtalif al-hadits ini yang di dalamnya membahas
tentang metode-metode yang digunakan untuk memecahkan masalah pertentangan
diantara hadits-hadits nabi tersebut. Dan untuk lebih jelasnya, makalah ini
akan mencoba membahas tentang ilmu mkhtalif al-hadits ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Singkat Mukhtalif Al-Hadits
Pada masa awal sistematisasi, perumusan
dan penulisannya, ilmu yang berhubungan dengan hadits-hadits yang mukhtalif ini
dibahas dalam ilmu ushul fiqh. Ini jelas terlihat dari rumusan yang dilakukan
oleh Imam Syafi’i dalam kitab ar-Risalah, al-Umm, dan Ikhtilaf al-Hadits.
Pembahasan ikhtilaf ini juga ditulis oleh Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Ta’wil
Mukhtalif al-Hadits (213-276 H) dan Musykil al-Atsar karya
ath-Thahawi (229-321 H).
Di sisi lain, ilmu yang berhubungan
dengan ilmu hadits dalam makna ilmu riwayah, lebih bersifat ilmu musthalah
al-hadits. Hal ini terlihat jelas dalam kitab al-Muhaddits al-Fashil karya
Ramahurmuziy (w. 360), yang dipandang sebagai kitab pertama dalam ilmu ini.
Dalam perkembangannya, ilmu ini tidak
saja dibahas dalam kitab-kitab ushul fiqih, tetapi juga dalam ilmu hadits pada
umumnya. Sementara terapannya bertebaran dalam kitab-kitab fiqih dan syarah
hadits, seperti al-Mughni karya Ibnu Qudamah, Fath al-Bari; Syarah
Shahih Bukhori karya Ibnu Hajar, Syarah an-Nasa’iy karya as-Suyuti, Tanwir
al-Hawalik; Syarah Muwaththa’ karya as-Suyuti, Syarah Muwaththa’
karya az-Zarqani, Subulus Salam;Syarah Bulughu al-Maram karya
ash-Shan’ani dan sebagainya.[1]
B.
Pengertian Mukhtalif Al-Hadits
Dalam kaidah bahasa Mukhtalaf Al-Hadis}
adalah susunan dua kata benda (isim) yakni Mukhtalaf dan Al-Hadis. Mukhtalaf
sendiri adalah isim maf’ul dari kata ikhtalafa yang berarti perselisihan dua
hal atau ketidaksesuaian dua hal, secara umum apabila ada dua hal yang
bertentangan, hal tersebut bisa dikatakan mukhtalaf atau ikhtilaf. Sedangkan
dalam istilah ahli hadis, Mukhtalif Al-Hadis (dengan dibaca kasroh lam’) adalah
hadis yang - secara dhohir - tampak saling bertentangan dengan hadis lain. dan
dengan dibaca fathah lam’nya adalah dua hadis yang secara makna saling
bertentangan. dari dua definisi diatas bisa disimpulkan bahwa Mukhtalif
Al-Hadis adalah adalah esensi hadis itu sendiri, sedangkan Mukhtlaf Al-Hadis
adalah pertentangannya.
اَلْعِلْمُ
الَّذِيْ يُبْحَثُ فيِ الْاَحَادِيْثُ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ
تَعَارُضُهَا أَوْيُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِيْ الْاَحَا دِيْثُ اَلَّتِيْ
يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّ رُهَا فَيَدْفَعُ اَشْكَا لَهاَ وَيُوَ ضِّحُ حَقِيْقَتِهَا
Sedangkan menurut istilah ilmu
mukhtalif al-Hadits ialah ilmu yang membahas hadits-hadits, yang menurut
lahirnya bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut
dihilangkan atau dilkompromikan antara keduanya, sebagaimana membahas
hadits-hadits yang sulit dipahami kandungannya, dengan menghilangkan
kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya. (Al-Hafidz Ibnu Katsir, al- Basis
al-Hadits; Syarah Ikhtisar ‘Ulum Al-Hadits).[2]
Dari pengertian ini dapat dipahami,
bahwa dengan menguasai ilmu mukhtalif al-hadits, hadits-hadits yang tampaknya
bertentangan akan dapat diatasi dengan menghilangakan pertentangan tersebut.
Begitu juga kemusykilan yang terlihat dalam hadits, akan segera dapat
dihilangkan dan ditemukan hakikat dari kandungan hadits tersebut.
عِلْمُ
يُبْحَثُ عَنِ الْأَحَادِيْثِ الَّتِىْ ظَاهِرَهَا التَّنَاقُضُ مِنْ حَيْثُ
اِمْكَانِ
الْجَمِعُ
بَيْنَهَا اِمَّا بِتَقِيْدِ مُطْلَقِهَا أَوْ بِتَخْصِيْصِ عَامِهَا أَوْ
حَمْلِهَا عَلَى تَعَدُّدِ الْحَادِثَةِ أَوْغَيْرِ ذَالِكَ
Definisi yang lain menyebutkan bahwa
ilmu mukhtalif al-hadits ialah ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut
lahirnya saling bertentangan, karena adanya kemungkinan dapat dikompromikan,
baik dengan cara mentaqyid kemutlakannya, atau mentakhsis keumumannya, atau
dengan cara membawanya kepada beberapa kejadian yang relevan dengan hadits
tersebut.[3](Subhi
Al-Shalih)
Sebagian ulama’ menyamakan istilah ilmu
mukhtalif al-hadits dengan ilmu musykil al-hadits, ilmu ta’wil
al-hadits, ilmu talfiq al-hadits, dan ilmu ikhtilaf al-hadits.
Jadi ilmu ini berusaha untuk mempertemukan dua atau lebih hadits yang
bertentangan maknanya. Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama’ hadits, ulama’
fiqh, dan lain-lain.
C.
Urgensi Mukhtalif al-Hadits
Bahwasanya memahami hadis Nabi SAW. dengan
pemahaman yang sehat, kuat, dan jernih serta dalam, dan juga melakukan istinbat
hukum dari hadis tersebut secara benar dan sah tidak bisa terlaksana dengan
sempurna kecuali didukung dengan pengetahuan tentang Mukhtalaf Al-Hadis,
sehingga mau tidak mau bagi seorang ilmuan (‘ulama) yang berkecimpung dalam
bidang tersebut memahami Mukhtalif Al-Hadis merupakan sebuah keniscayaan.
Saking pentingnya memahami Muhktalif
Al-Hadis}, para ‘ulama bervariasi dalam memposisikan (Makanah) Ilmu Muhktalaf
Al-Hadis}.
Diantara mereka adalah Ibnu Hazm Al-Dhahiri,
berikut statmennya:
وهذا
من أدق ما يمكن أن يعترض أهل العلم من تأليف النصوص وأغمضه وأصعبه
Artinya (kurang lebih) :
“dan ini (maksudnya adalah Ilmu Muhktalaf Al-Hadis)
merupakan salah satu disiplin ilmu yang sulit, rumit bagi seorang ilmuan (Ahl
Al-‘Ilm) dalam merumuskan atau menjabarkan nash-nash hadis”
Dan Imam Abu Zakariya Al-Nawawi mengatakan dengan
ungkapan :
" هذا فنٌ من أهمِّ الأنواع، ويضطرُّ إلى معرفته جميع العلماء من
الطوائف "
Artinya (kurang lebih) :
“dan ini (maksudnya adalah Ilmu Mukhtalaf Al-Hadis)
merupakan salah satu fan ilmu terpenting. dan semua ‘ulama dari segala kelompok
mutlak membutuhkan pengetahuan tentang ilmu ini.”
Terkait urgensi Ilmu Mukhtalaf
Al-Hadits Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :
" فإن تعارض دلالات الأقوال وترجيح بعضها على بعض بحر خضم"
Artinya (kurang lebih):
“sesungguhnya pertentangan (secara dhahir) antara
beberapa petunjuk dalil dan melakukan tarjih pada sebagian dalil tersebut
merupakan samudera yang sangat luas (artinya sangat luas dan rumit)”
D.
Sebab-sebab Mukhtalif al-Hadits
a.
Faktor
Internal Hadits (al ‘Amil Al
Dakhily)
Yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadits
tersebut. Biasanya terdapat ‘illat (cacat) didalam hadits tersebut yang nantinya
kedudukan hadits tersebut menjadi dha’if. Dan secara otomatis hadits tersebut
ditolak ketika hadits tersebut berlawanan dengan hadits shohih.
b.
Faktor
Eksternal (al’ Amil al Kharijy)
Yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian
dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan
tempat dimana Nabi menyampaikan haditsnya.
c.
Faktor
Metodologi (al Budu’ al Manhajy)
Yakni berkitan dengan cara bagaimana cara dan proses
seseorang memahami hadits tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami
secara tekstualis dan belum secara kontekstual yaitu dengan kadar keilmuan dan
kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadits, sehingga
memunculkn hadits-hadits yang mukhtalif.
d.
Faktor
Ideologi
Yakni berkaitan dengan ideologi suatu madzhab
dalam memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan
berbagai aliran yang sedang berkembang.
E.
Penyelesaian Mukhtalif al-Hadits
Dari definisi yang telah disebutkan
dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa, pertentangan yang terjadi pada
hadits-hadits mukhtalif bersifat lahir, bukan hakiki. Hal ini tentu saja
berangkat dari asumsi yang sangat kuat bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan
yang sangat kuat antara hadits-hadits yang sumbernya sama yaitu Rasulullah saw.
Selanjutnya, secara metodologis penyelesaian hadits mukhtalif dapat dilakukan
dengan beberapa pendekatan.
1.
Pendekatan
at-Taufiq atau al-Jam’u
Pendekatan
ini dilakukan dengan mengkompromikan kedua hadits yang mukhtalif tersebut.
Upaya kompromi ini secara umum dapat dilakukan dengan penerapan pola umum
khusus atau muthlaq dan muqayyad. Penerapan pola khusus dapat
pula dilihat kekhususan dari konteks kapan, di mana, dan kepada siapa Nabi
bersabda.
2.
Pendekatan
Nasakh
Pendekatan
ini dilakukan jika jalan taufiq tidak dapat dilakukan. Itupun jika data sejarah
kedua hadits yang ikhtilaf dapat diketahui dengan jelas. Tanpa mengetahui
taqaddum dan taakhhur dari kedua hadits itu, metode nasakh
mustahil dapat dilakukan. Pendekatan nasakh sendiri yaitu menghapus hadits yang
turunnya lebih dahulu kemudian mengamalkan hadits yang turunnya kemudian.
3.
Pendekatan
Tarjih
Dalam
pengertian sederhana, tarjih adalah suatu upaya komparatif untuk
menentukan sanad yang lebih kuat pada hadits-hadits yang tampak ikhtilaf. Tarjih
merupakan upaya terakhir yang mungkin dilakukan dalam menyelesaikan
hadits-hadits mukhtalif ketika jalan taufiq dan nasakh mengalami
kebuntuan. Jika pada langkah terakhir ini ikhtilaf juga tidak
dapat diselesaikan, maka hadits-hadits tersebut terpaksa dinyatakan tidak dapat
diamalkan (tawaqquf).
4. Pendekatan dalam masalah tanawwu’ al ibadah
Dalam masalah tanawwu’ al ibadah
adalah keragaman tatat cara beribadah, penyebab terjadinya keragaman ibadah salah
satunya yakni menyangkut tata cara pelaksanaan, seperti contoh dalam masalah
tata cara berwudhu’ Rasulullah ditemukan beberapa riwayat yang menarangkannya
dengan cara yang berbeda. Menurut riwayat Ibn Abbas, Rasulullah membasuh
anggota wudhunya, masing-masing satu kali, satu kali, menurut ‘Abdullah ibn
Zaid, masing-masingnya dibasuh dua kali, sementara menurut riwayat ‘usman
masing-masingnya tiga kali, hadis-hadis tersebut sama-sama sahih maqbul oleh
karena itu sama-sama dapat dijadikan hujah untuk dipegang dana diamalkan.
Untuk bentuk yang kedua, yakni
menyangkut bacaaan yang dibaca, dalam contoh yang lalu dikemukakan bahwa dalam
masalah tasyahud ditemukan banyak riwayat yang menerangkannya, yang antara satu
dengan yang lain mengandung redaksi yang berbeda. Bacaan tasyahud menurut
riwayat Ibn ‘Abbas, misalnya, berbeda redaksi dengan yang diriwayatkan oleh
‘Umar ibn al-Khattab. Selanjutnya, menurut riwayat dari Abdullah bin mas’ud
berbeda pula redaksinya dari yang diriwayatkan oleh ibu ‘Abbas maupun oleh Umar
ibn al-Khattab. Hadis-hadis tersebut sama-sama dalam kategori maqbul, yakni
memenuhi syarat untuk diterima dan diamalkan.
Masalah yang muncul menyangkut
menyangkut hadis-hadis tanawwu’ al-ibadah ini adalah bagaiman harusnya sikap
kita dalam menghadapinya diantaranya yang harus dipegang dan diamalkan,
penyelesaian tanawwu al-ibadah ini menurut as-syafi’I tidak bisa diambil lebih
maqbul salah satunya jika memang keduanya sama-sama maqbul karena hadis
tersebut bersal dari nabi Muhammad saw dan juga pertentangan salah satu
diantaranya tidak saling pertentangan sebagaimana pertentangan halal dan haram,
atau antara perintah atau larangan, dengan arti tidak mungkin dikompromikan
atau dicari titik temu.
Adapun perhatian imam asy-syafi’I menilai
hadis-hadis tersebut bisa diterima, dapat dibagi menjadi tiga bagian
1. Bahwa hadis-hadis tersebut semuanya
berkualitas sahih (maqbul) oleh karena iru, semua dapat diterima dan dijadikan
hujjah untuk diamalkan
2. Bahwa ajaran-ajaran yang dibawa oleh
masing-masing hadis tersebut sekalipun terdapat perbedaan, namun satu dan
lainnya tidak membawa kepada pertentangan (kontradiksi) yang tidak dapat
dikompromikan atau dicari titik temunya.
3. Bahwa dalam masalah Ibadah, kita tidak
bisa mengatakan bahwa mengapa hadis-hadis tersebut sedemikian rupa karena itu
berasal dari rasulullah maka wajib untuk diikuti, sebagai mana kaidah yang
telah ditetapkan oleh para Ulama.
ا
لا مل في العبادات التو قيف والاتباع
“ Hukum asal dalam masalah ibadah
ialah menerima dan mengikuti (sebagaimana diajarkan Rasulullah)”
Jadi dalam menghadapi hadis-hadis
tanawwu’ al-Ibadah pertama harus diperhatikan apakah hadis-hadis tersebut semua
dalam katagori maqbul atau tidak, kemudian hendaklah dipelajari apakah
perbedaan ajaran yang dikandung oleh masing-masingnya membawa kepada
pertentangan ) (kontradiksi) atau tidak,
apabila semua termasuk katagori maqbul dan perbedaan antara satu dan yang
lainnya tidak membawa kepada pertentangan yang tidak dapat dikompromikan, maka
hadis-hadis tersebut semua haruslah diterima dan diakui kehujahannya untuk
diikuti dan diamalkan, ajaran-ajaran yang dibawanya haruslah dipahami sebagai
cara atau bentuk-bentuk pelaksanaannya (jika hadis-hadis tersebut mengyangkut
cara-cara pelaksanaan), atua macam-macam bentuk bacaan (jika hadis-hadis
tersebut menyangkut bacaan yang dibaca) yang boleh diikuti dan diamalkan, dan
mana saja diantaranya yang dipilih, memenuhi syarat bagi sahnya ibadah tersbut.
Jika
seseorang ingin mengambil hadis tanawwu al-Ibadah maka hal yang harus dilakukan
adalah mengambil redaksi yang paling lengkap, seperti hadis mengenai basihan
wudhu pada anggota badan, masing-masingnya satu kali riwayat ini menurut ibnu
abbas, dan sempurnanya adalah membasuhnya tiga kali, tigakali ini berdasarkan
hadis Usman.[4]
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:
a.
Pada masa awal
sistematisasi, perumusan dan penulisannya, ilmu yang berhubungan dengan
hadits-hadits yang mukhtalif ini dibahas dalam ilmu ushul fiqh.
b.
Dalam kaidah
bahasa Mukhtalaf Al-Hadis} adalah susunan dua kata benda (isim) yakni Mukhtalaf
dan Al-Hadis. Sedangkan dalam istilah ahli hadis, Mukhtalif Al-Hadis (dengan
dibaca kasroh lam’) adalah hadis yang - secara dhohir - tampak saling
bertentangan dengan hadis lain.
c.
Memahami hadis
Nabi SAW. dengan pemahaman yang sehat, kuat, dan jernih serta dalam, dan juga
melakukan istinbat hukum dari hadis tersebut secara benar dan sah tidak bisa
terlaksana dengan sempurna kecuali didukung dengan pengetahuan tentang
Mukhtalaf Al-Hadis, sehingga mau tidak mau bagi seorang ilmuan (‘ulama) yang
berkecimpung dalam bidang tersebut memahami Mukhtalif Al-Hadis merupakan sebuah
keniscayaan.
d.
Sebab-sebab
Mukhtalif al-Hadits
1. Faktor Internal Hadits (Al ‘Amil Al
Dakhily)
2. Faktor
Eksternal (al’ Amil al Kharijy)
3. Faktor Metodologi (al Budu’ al Manhajy)
4. Faktor Ideologi
e.
Penyelesaian
Mukhtalif al-Hadits
1.
Pendekatan
at-Taufiq atau al-Jam’u
2.
Pendekatan
Nasakh
3.
Pendekatan
Tarjih
4. Pendekatan
tanawwu’ al ibadah
f.
Dan jika ketiga metode penyelesaian
tersebut tidak berhasil dilakukan, maka yang mukhtalif tersebut terpaksa
dinyatakan tidak diamalkan (tawaqquf).
BAB IV
PENUTUP
Demikianlah makalah yang telah penulis buat, penulis sadar makalah
ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi
kebaikan makalah selanjutnya. Namun, penulis tetap berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
·
Juned, Daniel, Ilmu Hadis, Jakarta:
Erlangga, 2010
·
Suparta, munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2003
·
Subhi Shalah, ‘Ulum al-Hadits Wa Musthalahuhu, Beirut : Maktabah
Dar al-‘Ilm al-Malayuni,1977
·
Edi safri, Al-Imam
Asy-syafi’I Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, Jakarta : Disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah, 1990
[1]
Daniel Juned, Ilmu Hadis, Jakarta:
Erlangga, 2010, hal. 109-111
[2]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 42
[3]
Subhi Shalah, ‘Ulum al-Hadits Wa Musthalahuhu, Beirut :Maktabah Dar al-‘Ilm
al-Malayuni,1977 , hal:111
[4]
Edi safri, Al-Imam Asy-syafi’I Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif,
Disertasi, (IAIN Syarif Hidayatullah,, Jakarta : 1990), hal. 151
Tidak ada komentar:
Posting Komentar