Rabu, 02 Mei 2018

Mukhtalif hadits dan sejarahnya


BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana kita tahu ilmu hadits dalam pembagiannya memiliki banyak sekali cabang –cabang yang membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan hadits. Ilmu-ilmu tersebut sangat penting untuk diketahui apalagi bagi orang-orang yang menekuni bidang hadits, karena dapat membantu dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan hadits. Salah satu dari ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu mukhtalif al-hadits. Ilmu ini membahas tentang hadits-hadits yang secara lahir saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Pertentangan tersebut terkadang membuat orang-orang yang menekuni hadits menjadi bingung tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dalam hadits-hadits tersebut. Karena hal inilah para tokoh hadits berpikir tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Akhirnya ditemukanlah ilmu mukhtalif al-hadits ini yang di dalamnya membahas tentang metode-metode yang digunakan untuk memecahkan masalah pertentangan diantara hadits-hadits nabi tersebut. Dan untuk lebih jelasnya, makalah ini akan mencoba membahas tentang ilmu mkhtalif al-hadits ini.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Singkat Mukhtalif Al-Hadits
Pada masa awal sistematisasi, perumusan dan penulisannya, ilmu yang berhubungan dengan hadits-hadits yang mukhtalif ini dibahas dalam ilmu ushul fiqh. Ini jelas terlihat dari rumusan yang dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam kitab ar-Risalah, al-Umm, dan Ikhtilaf al-Hadits. Pembahasan ikhtilaf ini juga ditulis oleh Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Ta’wil Mukhtalif al-Hadits (213-276 H) dan Musykil al-Atsar karya ath-Thahawi (229-321 H).
Di sisi lain, ilmu yang berhubungan dengan ilmu hadits dalam makna ilmu riwayah, lebih bersifat ilmu  musthalah al-hadits. Hal ini terlihat jelas dalam kitab al-Muhaddits al-Fashil  karya Ramahurmuziy (w. 360), yang dipandang sebagai kitab pertama dalam ilmu ini.
Dalam perkembangannya, ilmu ini tidak saja dibahas dalam kitab-kitab ushul fiqih, tetapi juga dalam ilmu hadits pada umumnya. Sementara terapannya bertebaran dalam kitab-kitab fiqih dan syarah hadits, seperti al-Mughni karya Ibnu Qudamah, Fath al-Bari; Syarah Shahih Bukhori karya Ibnu Hajar, Syarah an-Nasa’iy karya as-Suyuti, Tanwir al-Hawalik; Syarah Muwaththa’ karya as-Suyuti, Syarah Muwaththa’ karya az-Zarqani, Subulus Salam;Syarah Bulughu al-Maram karya ash-Shan’ani dan sebagainya.[1]

B.     Pengertian Mukhtalif Al-Hadits
Dalam kaidah bahasa Mukhtalaf Al-Hadis} adalah susunan dua kata benda (isim) yakni Mukhtalaf dan Al-Hadis. Mukhtalaf sendiri adalah isim maf’ul dari kata ikhtalafa yang berarti perselisihan dua hal atau ketidaksesuaian dua hal, secara umum apabila ada dua hal yang bertentangan, hal tersebut bisa dikatakan mukhtalaf atau ikhtilaf. Sedangkan dalam istilah ahli hadis, Mukhtalif Al-Hadis (dengan dibaca kasroh lam’) adalah hadis yang - secara dhohir - tampak saling bertentangan dengan hadis lain. dan dengan dibaca fathah lam’nya adalah dua hadis yang secara makna saling bertentangan. dari dua definisi diatas bisa disimpulkan bahwa Mukhtalif Al-Hadis adalah adalah esensi hadis itu sendiri, sedangkan Mukhtlaf Al-Hadis adalah pertentangannya.

اَلْعِلْمُ الَّذِيْ يُبْحَثُ فيِ الْاَحَادِيْثُ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضُهَا أَوْيُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِيْ الْاَحَا دِيْثُ اَلَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّ رُهَا فَيَدْفَعُ اَشْكَا لَهاَ وَيُوَ ضِّحُ حَقِيْقَتِهَا
Sedangkan menurut istilah ilmu mukhtalif al-Hadits ialah ilmu yang membahas hadits-hadits, yang menurut lahirnya bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau dilkompromikan antara keduanya, sebagaimana membahas hadits-hadits yang sulit dipahami kandungannya, dengan menghilangkan kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya. (Al-Hafidz Ibnu Katsir, al- Basis al-Hadits; Syarah Ikhtisar ‘Ulum Al-Hadits).[2]
Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa dengan menguasai ilmu mukhtalif al-hadits, hadits-hadits yang tampaknya bertentangan akan dapat diatasi dengan menghilangakan pertentangan tersebut. Begitu juga kemusykilan yang terlihat dalam hadits, akan segera dapat dihilangkan dan ditemukan hakikat dari kandungan hadits tersebut.

عِلْمُ يُبْحَثُ عَنِ الْأَحَادِيْثِ الَّتِىْ ظَاهِرَهَا التَّنَاقُضُ مِنْ حَيْثُ اِمْكَانِ الْجَمِعُ بَيْنَهَا اِمَّا بِتَقِيْدِ مُطْلَقِهَا أَوْ بِتَخْصِيْصِ عَامِهَا أَوْ حَمْلِهَا عَلَى تَعَدُّدِ الْحَادِثَةِ أَوْغَيْرِ ذَالِكَ
Definisi yang lain menyebutkan bahwa ilmu mukhtalif al-hadits ialah ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan, karena adanya kemungkinan dapat dikompromikan, baik dengan cara mentaqyid kemutlakannya, atau mentakhsis keumumannya, atau dengan cara membawanya kepada beberapa kejadian yang relevan dengan hadits tersebut.[3](Subhi Al-Shalih)
Sebagian ulama’ menyamakan istilah ilmu mukhtalif al-hadits dengan ilmu musykil al-hadits, ilmu ta’wil al-hadits, ilmu talfiq al-hadits, dan ilmu ikhtilaf al-hadits.
            Jadi ilmu ini berusaha untuk mempertemukan dua atau lebih hadits yang bertentangan maknanya. Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama’ hadits, ulama’ fiqh, dan lain-lain.

C.    Urgensi Mukhtalif al-Hadits
Bahwasanya memahami hadis Nabi SAW. dengan pemahaman yang sehat, kuat, dan jernih serta dalam, dan juga melakukan istinbat hukum dari hadis tersebut secara benar dan sah tidak bisa terlaksana dengan sempurna kecuali didukung dengan pengetahuan tentang Mukhtalaf Al-Hadis, sehingga mau tidak mau bagi seorang ilmuan (‘ulama) yang berkecimpung dalam bidang tersebut memahami Mukhtalif Al-Hadis merupakan sebuah keniscayaan.
Saking pentingnya memahami Muhktalif Al-Hadis}, para ‘ulama bervariasi dalam memposisikan (Makanah) Ilmu Muhktalaf Al-Hadis}.
Diantara mereka adalah Ibnu Hazm Al-Dhahiri, berikut statmennya:
وهذا من أدق ما يمكن أن يعترض أهل العلم من تأليف النصوص وأغمضه وأصعبه
Artinya (kurang lebih) :
“dan ini (maksudnya adalah Ilmu Muhktalaf Al-Hadis) merupakan salah satu disiplin ilmu yang sulit, rumit bagi seorang ilmuan (Ahl Al-‘Ilm) dalam merumuskan atau menjabarkan nash-nash hadis”
Dan Imam Abu Zakariya Al-Nawawi mengatakan dengan ungkapan :
" هذا فنٌ من أهمِّ الأنواع، ويضطرُّ إلى معرفته جميع العلماء من الطوائف "
Artinya (kurang lebih) :
“dan ini (maksudnya adalah Ilmu Mukhtalaf Al-Hadis) merupakan salah satu fan ilmu terpenting. dan semua ‘ulama dari segala kelompok mutlak membutuhkan pengetahuan tentang ilmu ini.”
Terkait urgensi Ilmu Mukhtalaf Al-Hadits Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :
" فإن تعارض دلالات الأقوال وترجيح بعضها على بعض بحر خضم"
Artinya (kurang lebih):
“sesungguhnya pertentangan (secara dhahir) antara beberapa petunjuk dalil dan melakukan tarjih pada sebagian dalil tersebut merupakan samudera yang sangat luas (artinya sangat luas dan rumit)”

D.    Sebab-sebab Mukhtalif al-Hadits
a.       Faktor Internal Hadits (al ‘Amil Al Dakhily)
Yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadits tersebut. Biasanya terdapat ‘illat (cacat) didalam hadits tersebut yang nantinya kedudukan hadits tersebut menjadi dha’if. Dan secara otomatis hadits tersebut ditolak ketika hadits tersebut berlawanan dengan hadits shohih.
b.      Faktor Eksternal (al’ Amil al Kharijy)
Yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat dimana Nabi menyampaikan haditsnya.
c.       Faktor Metodologi (al Budu’ al Manhajy)
Yakni berkitan dengan cara bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadits tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami secara tekstualis dan belum secara kontekstual yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadits, sehingga memunculkn hadits-hadits yang mukhtalif.
d.       Faktor Ideologi
Yakni berkaitan dengan ideologi suatu madzhab dalam memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang.

E.     Penyelesaian Mukhtalif al-Hadits
Dari definisi yang telah disebutkan dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa, pertentangan yang terjadi pada hadits-hadits mukhtalif bersifat lahir, bukan hakiki. Hal ini tentu saja berangkat dari asumsi yang sangat kuat bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan yang sangat kuat antara hadits-hadits yang sumbernya sama yaitu Rasulullah saw. Selanjutnya, secara metodologis penyelesaian hadits mukhtalif dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan.
1.      Pendekatan at-Taufiq atau al-Jam’u
Pendekatan ini dilakukan dengan mengkompromikan kedua hadits yang mukhtalif tersebut. Upaya kompromi ini secara umum dapat dilakukan dengan penerapan pola umum khusus atau muthlaq dan muqayyad. Penerapan pola khusus dapat pula dilihat kekhususan dari konteks kapan, di mana, dan kepada siapa Nabi bersabda.
2.      Pendekatan Nasakh
Pendekatan ini dilakukan jika jalan taufiq tidak dapat dilakukan. Itupun jika data sejarah kedua hadits yang ikhtilaf dapat diketahui dengan jelas. Tanpa mengetahui  taqaddum dan taakhhur dari kedua hadits itu, metode nasakh mustahil dapat dilakukan. Pendekatan nasakh sendiri yaitu menghapus hadits yang turunnya lebih dahulu kemudian mengamalkan hadits yang turunnya kemudian.
3.      Pendekatan Tarjih
Dalam pengertian sederhana, tarjih  adalah suatu upaya komparatif untuk menentukan sanad yang lebih kuat pada hadits-hadits yang tampak ikhtilaf. Tarjih merupakan upaya terakhir yang mungkin dilakukan dalam menyelesaikan hadits-hadits mukhtalif ketika jalan taufiq dan nasakh mengalami kebuntuan. Jika pada langkah terakhir ini ikhtilaf  juga tidak dapat diselesaikan, maka hadits-hadits tersebut terpaksa dinyatakan tidak dapat diamalkan (tawaqquf).
4.      Pendekatan dalam masalah tanawwu’ al ibadah
Dalam masalah tanawwu’ al ibadah adalah keragaman tatat cara beribadah, penyebab terjadinya keragaman ibadah salah satunya yakni menyangkut tata cara pelaksanaan, seperti contoh dalam masalah tata cara berwudhu’ Rasulullah ditemukan beberapa riwayat yang menarangkannya dengan cara yang berbeda. Menurut riwayat Ibn Abbas, Rasulullah membasuh anggota wudhunya, masing-masing satu kali, satu kali, menurut ‘Abdullah ibn Zaid, masing-masingnya dibasuh dua kali, sementara menurut riwayat ‘usman masing-masingnya tiga kali, hadis-hadis tersebut sama-sama sahih maqbul oleh karena itu sama-sama dapat dijadikan hujah untuk dipegang dana diamalkan.
Untuk bentuk yang kedua, yakni menyangkut bacaaan yang dibaca, dalam contoh yang lalu dikemukakan bahwa dalam masalah tasyahud ditemukan banyak riwayat yang menerangkannya, yang antara satu dengan yang lain mengandung redaksi yang berbeda. Bacaan tasyahud menurut riwayat Ibn ‘Abbas, misalnya, berbeda redaksi dengan yang diriwayatkan oleh ‘Umar ibn al-Khattab. Selanjutnya, menurut riwayat dari Abdullah bin mas’ud berbeda pula redaksinya dari yang diriwayatkan oleh ibu ‘Abbas maupun oleh Umar ibn al-Khattab. Hadis-hadis tersebut sama-sama dalam kategori maqbul, yakni memenuhi syarat untuk diterima dan diamalkan.
Masalah yang muncul menyangkut menyangkut hadis-hadis tanawwu’ al-ibadah ini adalah bagaiman harusnya sikap kita dalam menghadapinya diantaranya yang harus dipegang dan diamalkan, penyelesaian tanawwu al-ibadah ini menurut as-syafi’I tidak bisa diambil lebih maqbul salah satunya jika memang keduanya sama-sama maqbul karena hadis tersebut bersal dari nabi Muhammad saw dan juga pertentangan salah satu diantaranya tidak saling pertentangan sebagaimana pertentangan halal dan haram, atau antara perintah atau larangan, dengan arti tidak mungkin dikompromikan atau dicari titik temu.
 Adapun perhatian imam asy-syafi’I menilai hadis-hadis tersebut bisa diterima, dapat dibagi menjadi tiga bagian
1.      Bahwa hadis-hadis tersebut semuanya berkualitas sahih (maqbul) oleh karena iru, semua dapat diterima dan dijadikan hujjah untuk diamalkan
2.      Bahwa ajaran-ajaran yang dibawa oleh masing-masing hadis tersebut sekalipun terdapat perbedaan, namun satu dan lainnya tidak membawa kepada pertentangan (kontradiksi) yang tidak dapat dikompromikan atau dicari titik temunya.
3.      Bahwa dalam masalah Ibadah, kita tidak bisa mengatakan bahwa mengapa hadis-hadis tersebut sedemikian rupa karena itu berasal dari rasulullah maka wajib untuk diikuti, sebagai mana kaidah yang telah ditetapkan oleh para Ulama.

ا لا مل في العبادات التو قيف والاتباع
“ Hukum asal dalam masalah ibadah ialah menerima dan mengikuti (sebagaimana diajarkan Rasulullah)”
            Jadi dalam menghadapi hadis-hadis tanawwu’ al-Ibadah pertama harus diperhatikan apakah hadis-hadis tersebut semua dalam katagori maqbul atau tidak, kemudian hendaklah dipelajari apakah perbedaan ajaran yang dikandung oleh masing-masingnya membawa kepada pertentangan ) (kontradiksi)  atau tidak, apabila semua termasuk katagori maqbul dan perbedaan antara satu dan yang lainnya tidak membawa kepada pertentangan yang tidak dapat dikompromikan, maka hadis-hadis tersebut semua haruslah diterima dan diakui kehujahannya untuk diikuti dan diamalkan, ajaran-ajaran yang dibawanya haruslah dipahami sebagai cara atau bentuk-bentuk pelaksanaannya (jika hadis-hadis tersebut mengyangkut cara-cara pelaksanaan), atua macam-macam bentuk bacaan (jika hadis-hadis tersebut menyangkut bacaan yang dibaca) yang boleh diikuti dan diamalkan, dan mana saja diantaranya yang dipilih, memenuhi syarat bagi sahnya ibadah tersbut.
Jika seseorang ingin mengambil hadis tanawwu al-Ibadah maka hal yang harus dilakukan adalah mengambil redaksi yang paling lengkap, seperti hadis mengenai basihan wudhu pada anggota badan, masing-masingnya satu kali riwayat ini menurut ibnu abbas, dan sempurnanya adalah membasuhnya tiga kali, tigakali ini berdasarkan hadis Usman.[4]

BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:
a.       Pada masa awal sistematisasi, perumusan dan penulisannya, ilmu yang berhubungan dengan hadits-hadits yang mukhtalif ini dibahas dalam ilmu ushul fiqh.
b.      Dalam kaidah bahasa Mukhtalaf Al-Hadis} adalah susunan dua kata benda (isim) yakni Mukhtalaf dan Al-Hadis. Sedangkan dalam istilah ahli hadis, Mukhtalif Al-Hadis (dengan dibaca kasroh lam’) adalah hadis yang - secara dhohir - tampak saling bertentangan dengan hadis lain.
c.       Memahami hadis Nabi SAW. dengan pemahaman yang sehat, kuat, dan jernih serta dalam, dan juga melakukan istinbat hukum dari hadis tersebut secara benar dan sah tidak bisa terlaksana dengan sempurna kecuali didukung dengan pengetahuan tentang Mukhtalaf Al-Hadis, sehingga mau tidak mau bagi seorang ilmuan (‘ulama) yang berkecimpung dalam bidang tersebut memahami Mukhtalif Al-Hadis merupakan sebuah keniscayaan.
d.      Sebab-sebab Mukhtalif al-Hadits
1.   Faktor Internal Hadits (Al ‘Amil Al Dakhily)
2.   Faktor Eksternal (al’ Amil al Kharijy)
3.   Faktor Metodologi (al Budu’ al Manhajy)
4.   Faktor Ideologi
e.       Penyelesaian Mukhtalif al-Hadits
1.     Pendekatan at-Taufiq atau al-Jam’u
2.     Pendekatan Nasakh
3.     Pendekatan Tarjih
4.   Pendekatan tanawwu’ al ibadah
f.       Dan jika ketiga metode penyelesaian tersebut tidak berhasil dilakukan, maka yang mukhtalif tersebut terpaksa dinyatakan tidak diamalkan (tawaqquf).

BAB IV
PENUTUP
Demikianlah makalah yang telah penulis buat, penulis sadar makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kebaikan makalah selanjutnya. Namun, penulis tetap berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.


DAFTAR PUSTAKA

·         Juned, Daniel,  Ilmu Hadis, Jakarta: Erlangga, 2010
·         Suparta, munzier,  Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003
·         Subhi Shalah, ‘Ulum al-Hadits Wa Musthalahuhu, Beirut : Maktabah Dar al-‘Ilm al-Malayuni,1977
·         Edi safri, Al-Imam Asy-syafi’I Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, Jakarta :  Disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah, 1990






[1] Daniel Juned, Ilmu Hadis, Jakarta: Erlangga, 2010, hal. 109-111
[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 42
[3] Subhi Shalah, ‘Ulum al-Hadits Wa Musthalahuhu, Beirut :Maktabah Dar al-‘Ilm al-Malayuni,1977 , hal:111
[4] Edi safri, Al-Imam Asy-syafi’I Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, Disertasi, (IAIN Syarif Hidayatullah,, Jakarta : 1990), hal. 151

Tidak ada komentar:

Posting Komentar