Rabu, 02 Mei 2018

QOWAIDUL FIQHIYYAH DAN DEFINISINYA


A. Macam-Macam Qawaid Fiqhiyyah Kulliyah
Terdapat kontroversi antara asumsi ulama fiqh dalam menjelaskan qawaid-qawaid kulliyah yang dijadikan rujukan oleh hukum-hukum yang berbau fiqh dalam al-fiqh al-Islamiy. Maka kemudian ditemukan mayoritas dari mereka berpendapat bahwa hukum-hukum fiqh Islami itu semua kembali kepada qawaid kulliyah yang berjumlah lima, yaitu :
1. اليقين لا يزال بالشّك 2. المشقّة تجلب التيسير 3. الضرر يزال 4. العادة محكمة 5. الأمور بمقاصدها
Ada pula dari sebagian mereka meringkas kelima tersebut menjadi empat, yakni :
 1. اليقين لا يزال بالشّك 2. المشقّة تجلب التيسير 3. الضرر يزال 4. العادة محكمة
Salah satu ulama yang juga mendukung ringkasan tersebut adalah Tajuddin Al-Subky, beliau berkata: “menurut saya, jika saya ingin mengembalikan fiqh kepada hal yang lima. Bagiku, hal yang berada di nomer lima itu bisa masuk pada angka yang pertama, atau juga yang kedua.”
 Lain halnya dengan Syaikh Al-Islam Izzuddin ibn Abd Abdus Salam yang mengembalikan fiqh semuanya pada ungkapan yang bersifat kemaslahatan (kebaikan untuk semua orang) dan meninggalkan hal-hal yang merusak.

Untuk lebih detilnya, berikut beberapa penjelasan mengenai qawaid fiqhiyyah kulliyah:
 1. Qaidah pertama
الأمور بمقاصدها
“Setiap perkara tergantung kepada maksud mengerjakannya.”
Dalam qaidah ini terdiri dari dua kata (kalimat dalam bahasa arab), yakni (الأمور) dan (مقاصد). (الأمور) yang berasal dari bentuk tunggal kata (أمر) yang berarti keadaan. Sedangkan (مقاصد) adalah bentuk jamak dari kata (مقصد) yang juga berasal dari bentuk kata madhi (قصد) yang berarti menyengaja atau juga berarti berniat.
 Yang melandasi rumusan qaidah ini adalah firman Allah SWT: وما أمروا إلاّ ليعبدوا الله مخلصين له الدين (البيّنة: 5) “padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dngan memurnikan (niat)ketaatan kepadaNya”.
 Juga hadis nabi SAW: إنّما الأعمال بالنّيات و إنّما لكل امرئ ما نوى (رواه البخارى)
“bahwasannya perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh sesuai dengan yang diniati.”
 Qaidah ini memberi pengertian bahwa setiap amal perbuatan manusia, baik yang berujud perkataan maupun perbuatan diukur menurut niat si pelaku. Untuk mengetahui sejauh mana niat si pelaku, haruslah dilihat adanya qarinah-qarinah yang dapat dijadikan petunjuk untuk mengetahui jenis niat dari pelakunya.
 Sebagai contoh, seorang pemburu yang menembak binatang buruan di hutan, yang kemudian ternyata tidak mengenai sasarannya, akan tetapi malang baginya pelurunya nyasar pada seorang pencari kayu yang ada di hutan itu. Dalam kasus ini, si pemburu yang melepaskan tembakan itu tidak dapat dikategorikan kepada pembunu sengaja, karena dengan adanya hutan (sebagai qarinah) yang menghalangi atau mengganggu penglihatan terhadap binatang buruan tersebut, yang mengakibatkan kesalahan sehingga peluru nyasar ke tubuh si pencari kayu. Dengan demikian, si pemburu hanya dapat dikategorikan kepada pembunu tidak sengaja.
 Ada pula contoh yang lain, misalnya. Nilai dari mencari ilmu itu berbeda-beda, tergantung pada niat si pencari ilmu itu sendiri. Maka apabila ada seseorang yang hendak mencari ilmu syara’, kemudian dia berniat untuk mencari ilmu agar memperoleh dunia dan harta yang ada di dalamnya, maka mencari ilmu itu tersebut menjadi haram. Dan si pelakunya disiksa, dia tidak bisa mencium aroma surga. Dan apabila tujuan seseorang mencari ilmu syara’ itu untuk mencari ridho Allah lalu menjalankan segala yang Dia perintahkan, menyebarkan syari’atnya, memperdalam ilmu agama lalu kemudian mengamalkan apa yang ia peroleh, maka ia akan diberi pahala dengan Agung-agungnya pahala.
 Maka, hukum dari interaksi manusia itu menjadi wajib, sunnah, makruh, mubah atau haram, lalu kemudian diberi pahala atau malah disiksa, itu semua tergantung pada niat dan bentuk tujuan si pelaku itu sendiri.

 2. Qaidah kedua
اليقين لا يزال (لا يزول أو لا يرفع ) بالشّك
“sesuatu yang sudah yakin tidak dapat dihilangkan dengan adanya suatu keraguan (syak).”
Qaidah ini disimpulkan berdasarkan hadis:
 إذا شكّ أحدكم فى صلاته فلم يدركم صلّى أ ثلاثا أم أربعا فليطرح الشكّ وليبن ما استيقن. (رواه مسلم)
 “jika salah seorang di antara kamu ragu-ragu dalam mengerjakan sholat dan tidak tahu berapa rakaat ia telah sholat. Apakah telah mengerjakan tiga atau empat rakaat, maka hendaklah menghilangkan keraguan itu dan hendaknya menetapkan dengan apa yang diyakininya.”
Yakin berarti ketentraman hati atas hakikat suatu hal. Dan Syak, berarti keraguan antara dua hal yang tanpa melakukan tarjih untuk keduanya.
 Jadi, maksud dari qaidah ini adalah apabila seseorang telah meyakini suatu perkara, maka yang telah yakin ini tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.
 Dalam Al-Wajiz dikatakan, menurut dalil aqli bahwasannya yakin itu lebih kuat dari pada ragu. Karena yakin adalah hukum pasti yang sungguh, maka tidak bisa merobohkan keraguan.
 Seseorang yang yakin telah berwudhu, kemudian datang keraguan apakah ia telah berhadas, dalam hal ni ditetapkan hukum yang telah diyakini, yakni masih ada wudhu dan belum berhadas.
Dalam kaidah lain:
الأصل بقاء ما كان على ما كان
“yang menjadi dasar adalah tetapnya apa yang telah ada atas apa yang telah ada.”
Berdasarkan kaidah ini, manakala seseorang menjumpai suatu keraguan mengenai hukum suatu perkara, maka diperlakukan hukum yang telah ada atau yang ditetapkan pada masa yang telah lewat, sampai ada hukum lain yang merubahnya, karena apa yang telah ada lebih dapat diyakini.

 3. Kaidah ketiga
 الضرر يزال
“Kemudhorotan itu harus dihilangkan.”
Redaksi kata-kata dalam kaidah ini, menunjukkan, bahwa kemudhorotan yang telah terjadi wajib dihilangkan.
Madharrah itu adalah lawan kata dari memperoleh manfaat. Yang berasal dari fi’il madhi (ضرّ يضرّ) yang berarti kekurangan yang ada dalam suatu hal atau bisa juga disebut dengan bahaya.
 Qaidah ini berasal dari hadis:
لا ضرر ولا ضرار
 “tidak boleh membuat kemudhorotan dengan membalas dengan kemudhorotan.” (HR. Ibnu Majah, ra) Sedangkan, arena dalam kaidah ini sangat luas, mencakup sebagian besar dari masalah-masalah fiqh. Di antaranya ia mengembalikan barang yang telah dibeli, karena ada cacat, disyari’atkan berbagai macam khiyar, syuf’ah dan hudud. Dari qaidah ini, dapat diambil beberapa pengertian, yakni :
1. Yang pertama tidak boleh membahayakan, ini yang utama. Artinya, seseorang tidak boleh membahayai diri dan harta orang lain. Karena dharar (bahaya) itu adalah suatu kedoliman. Dan kedholiman itu dilarang. Seperti jika seseorang memiliki hak untuk lewat pada jalan milik orang lain, maka seseorang tersebut tidak boleh melarang yang lain untuk tidak lewat pada jalan itu.
2. Bahwa tidak boleh menyambut dharar (kebahayaan) dengan bahaya yang serupa.
Dalam kaidah lain:
الضرر لا يزال بمثله
“kemudhorotan tidak dapat dihilangkan dengan kemudhorotan yang sebanding (serupa).”
Misalnya, seseorang yangs edang kelaparan tidak boleh mengambil makanan orang lain yang juga akan mati kelaparan apabila makanannya hilang. Begitu juga, dokter dilarang mengobati pasien yang memerlukan darah, dengan mengambil darah orang lain yang apabila diambil darahnya akan mengalami penyakit kekurangan darah.

4. Qaidah keempat
المشقّة تجلب التيسير
“kesukaran itu mendatangkan kemudahan.”
Qaidah ini berdasarkan kepada:
وما جعل عليكم فى الدين من حرج. (الحجّ: 78)
“dan dia (Allah) tidak menjadikan untuk kamu dalam agama ini suatu kesulitan.
يريد الله بكم اليسرى ولا يريد بكم العسر (البقرة: 185)
“Allah menghendaki bagimu dan tidak mengehendaki baginya kemudahan dan tidak menghendaki bagimu kesulitan.”
Dalam keadaan musafir, dibolehkan mengqoshor salat (jumlah rakaat), dari empat rakaat menjadi dua rakaat.
Selain daripada dibolehkan mengqashar salat bagi musafir, masih banyak furu’iyah yang bernaung di bawah qaidah ini, antara lain: dibolehkan berbuka puasa bagi musafir dan orang sakit, dibolehkan makan bangkai atau makanan lain yang diharamkan di saat di mana tidak ada makanan selain bangkai yang diharamkan itu. Dari qaidah keempat ini dapat dikemukakan beberapa qaidah:
الأمر إذا ضاق اتّسع
 “suatu perkara apabila sempit menjadi luas.”
Qaidah di atas dapat diartikan sebagai. Kesulitan yang dijumpai oleh orang mukallaf dalam melaksanakan hokum syara’ itu menjadi sebab syar’I yang sah untuk memudahkan dan meringankan mukallaf tersebut dari masalah yang ia hadapi.
 Datangnya syari’at Islam, pada hakekatnya adalah menciptakan kebahagiaan bagi kehidupan manusia semenjak di dunia sampai di akhirat.
Kaidah di atas memberikan arti bahwa setiap kesempitan yang dihadapi oleh seseorang atau masyarakat harus diperlonggar sedemikian rupa, sehingga benar-benar akan terasa adanya kebahagiaan dengan datangnya Islam.
 Sedangkan mengenai kadar yang harus dipakai untuk menghilangkan kesempitan ini syari’at Islam telah meletakkan aturan-aturannya yang dipahami dari kaidah-kaidah berikut. Dalam kaidah lain:
الضرورات تبيح المحظورات
“keadaan dhorurat itu membolehkan larangan-larangan”
Para fuqaha merumuskan kiadah ini berdasarkan firman Allah:
فمن اضطر غير باغ ولا عاد فلا إثم عليه (البقرة: 173)
Tetapi, barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.

5. Qaidah kelima
 العادة محكمة
“Adat (kebiasaan) dapat ditetapkan sebagai hukum.”
Kaidah ini dirumuskan berdasarkan firman Allah: وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين (الأعراف:
199)
“Dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang yang bodoh.”
Adapun sampai di mana suatu peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dapat disebut adat. Para fuqaha’ memberikan definisi demikian:
 العادة ما تعارفه الناس و ساروا عليه فى مجرى حياتهم سواء كان قولا أم فعلا.
Adat ialah segala yang telah dikenal manusia, sehingga hal itu menjadi suatu kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan mereka baik berupa perkataan atau perbuatan. Misalnya: fatwa ulama tentang diperbolehkannya memberi upah pada pengajaran Alquran dan sejenisnya. Jika para pengajar tersebut telah disibukkan dengan pengajaran tanpa upah, maka ditakutkan pengajar-pengajar Alquran tersebut semakin sedikit lalu anak-anak yang bisa membaca Alquran juga jarang, maka akhirnya dipergunakanlah kebolehan memberi upah pada pengajar Alquran. Begitu juga pada daerah-daerah yang membiasakan untuk memebri upah pada muadzin dan imam salat. Jika muadzin dan imam tersebut tidak diberi upah, maka di daerah itu tidak ada yang adazan dan tidak ada imam salat berjama’ah. Maka diperbolehkanlah memberi upah pada mereka.

B. Perannya Dalam Penetapan dan Pengembangan Hukum Islam
Sebagaimana yang dikatakan oleh ulama ushul bahwa qaidah fiqhiyyah itu adalah qaidah-qaidah umum yang meliputi seluruh cabang masalah-masalah fiqhi yang menjadi pedoman untuk menetapkan hukum setiap peristiwa fiqhiyyah baik yang telah ditunjuk oleh nash yang sharih maupun yang belum ada nashnya sama sekali. Oleh karena itu, dengan mempelajari qaidah fiqhiyyah, seseorang telah memiliki pedoman untuk menetapkan hukum untuk setiap peristiwa fiqhiyyah, seperti bayi tabung, transplantasi organ tubuh dan sebagainya.
 Di samping itu juga berfungsi sebagai tempat bagi para mujtahid untuk mengembalikan seluruh seluk beluk masalah fiqhiyyah dan sebagai qoidah (dalil) untuk menetapkan hukum masalah-masalah baru yang telah ditunjuk oleh nash yang sharih yang sangat memerlukan untuk ditentukan hukumnya. Oleh karena itu, setiap orang yang sanggup menguasai qaidah-qaidah fiqhiyyah niscaya mampu menguasai seluruh bagian masalah fiqh dan sanggup menetapkan ketentuan hukum setiap peristiwa yang belum atau tidak ada nashnya.
 Selain itu, kebutuhan para penggali hokum fiqh untuk menghapal qaidah, dewasa ini semakin mendesak. Hal itu antara lain, karena semakin kompleksnya berbagai masalah dalam kehidupan.
 BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
 Dari beberapa lembar makalah yang kami ajukan tadi, seindahnya ada beberapa benang merah yang bisa diambil, yakni:
1. Macam-macam qaidah fiqhiyah kulliyah itu ada lima: 1) الأمور بمقاصدها 2) اليقين لا يزول بالشك 3) العادة محكمة 4) المشقة تجلب التيسير 5) الضرر يزول 2.
Perannya dalam pengembangan dan penerapan hukum islam ialah:
1) dengan mempelajari qaidah fiqhiyyah, seseorang telah memiliki pedoman untuk menetapkan hukum untuk setiap peristiwa fiqhiyyah, seperti bayi tabung, transplantasi organ tubuh dan sebagainya.
2) berfungsi sebagai tempat bagi para mujtahid untuk mengembalikan seluruh seluk beluk masalah fiqhiyyah dan sebagai qoidah (dalil) untuk menetapkan hukum masalah-masalah baru yang telah ditunjuk oleh nash yang sharih yang sangat memerlukan untuk ditentukan hukumnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar