A. Macam-Macam Qawaid Fiqhiyyah Kulliyah
Terdapat kontroversi antara asumsi ulama fiqh dalam menjelaskan
qawaid-qawaid kulliyah yang dijadikan rujukan oleh hukum-hukum yang berbau fiqh
dalam al-fiqh al-Islamiy. Maka kemudian ditemukan mayoritas dari mereka
berpendapat bahwa hukum-hukum fiqh Islami itu semua kembali kepada qawaid
kulliyah yang berjumlah lima, yaitu :
1. اليقين لا يزال
بالشّك 2. المشقّة تجلب التيسير 3. الضرر يزال 4. العادة محكمة 5. الأمور بمقاصدها
Ada pula dari sebagian mereka meringkas kelima tersebut menjadi
empat, yakni :
1. اليقين لا يزال بالشّك 2. المشقّة تجلب التيسير
3. الضرر يزال 4. العادة محكمة
Salah satu ulama yang juga mendukung ringkasan tersebut adalah
Tajuddin Al-Subky, beliau berkata: “menurut saya, jika saya ingin mengembalikan
fiqh kepada hal yang lima. Bagiku, hal yang berada di nomer lima itu bisa masuk
pada angka yang pertama, atau juga yang kedua.”
Lain halnya dengan Syaikh
Al-Islam Izzuddin ibn Abd Abdus Salam yang mengembalikan fiqh semuanya pada
ungkapan yang bersifat kemaslahatan (kebaikan untuk semua orang) dan
meninggalkan hal-hal yang merusak.
Untuk lebih detilnya, berikut beberapa penjelasan mengenai qawaid
fiqhiyyah kulliyah:
1. Qaidah pertama
الأمور بمقاصدها
“Setiap perkara tergantung kepada maksud mengerjakannya.”
Dalam qaidah ini terdiri dari dua kata (kalimat dalam bahasa arab),
yakni (الأمور) dan (مقاصد). (الأمور) yang berasal dari
bentuk tunggal kata (أمر) yang berarti keadaan.
Sedangkan (مقاصد) adalah bentuk jamak
dari kata (مقصد) yang juga berasal dari
bentuk kata madhi (قصد) yang berarti menyengaja
atau juga berarti berniat.
Yang melandasi rumusan
qaidah ini adalah firman Allah SWT: وما أمروا إلاّ ليعبدوا الله مخلصين له الدين
(البيّنة: 5) “padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dngan memurnikan (niat)ketaatan kepadaNya”.
Juga hadis nabi SAW: إنّما الأعمال بالنّيات و إنّما لكل
امرئ ما نوى (رواه البخارى)
“bahwasannya perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dan setiap
orang akan memperoleh sesuai dengan yang diniati.”
Qaidah ini memberi
pengertian bahwa setiap amal perbuatan manusia, baik yang berujud perkataan
maupun perbuatan diukur menurut niat si pelaku. Untuk mengetahui sejauh mana
niat si pelaku, haruslah dilihat adanya qarinah-qarinah yang dapat dijadikan
petunjuk untuk mengetahui jenis niat dari pelakunya.
Sebagai contoh, seorang
pemburu yang menembak binatang buruan di hutan, yang kemudian ternyata tidak
mengenai sasarannya, akan tetapi malang baginya pelurunya nyasar pada seorang
pencari kayu yang ada di hutan itu. Dalam kasus ini, si pemburu yang melepaskan
tembakan itu tidak dapat dikategorikan kepada pembunu sengaja, karena dengan
adanya hutan (sebagai qarinah) yang menghalangi atau mengganggu penglihatan
terhadap binatang buruan tersebut, yang mengakibatkan kesalahan sehingga peluru
nyasar ke tubuh si pencari kayu. Dengan demikian, si pemburu hanya dapat
dikategorikan kepada pembunu tidak sengaja.
Ada pula contoh yang lain,
misalnya. Nilai dari mencari ilmu itu berbeda-beda, tergantung pada niat si
pencari ilmu itu sendiri. Maka apabila ada seseorang yang hendak mencari ilmu
syara’, kemudian dia berniat untuk mencari ilmu agar memperoleh dunia dan harta
yang ada di dalamnya, maka mencari ilmu itu tersebut menjadi haram. Dan si
pelakunya disiksa, dia tidak bisa mencium aroma surga. Dan apabila tujuan
seseorang mencari ilmu syara’ itu untuk mencari ridho Allah lalu menjalankan
segala yang Dia perintahkan, menyebarkan syari’atnya, memperdalam ilmu agama
lalu kemudian mengamalkan apa yang ia peroleh, maka ia akan diberi pahala
dengan Agung-agungnya pahala.
Maka, hukum dari interaksi
manusia itu menjadi wajib, sunnah, makruh, mubah atau haram, lalu kemudian
diberi pahala atau malah disiksa, itu semua tergantung pada niat dan bentuk
tujuan si pelaku itu sendiri.
2. Qaidah kedua
اليقين لا يزال
(لا يزول أو لا يرفع ) بالشّك
“sesuatu yang sudah yakin tidak dapat dihilangkan dengan adanya
suatu keraguan (syak).”
Qaidah ini disimpulkan berdasarkan hadis:
إذا شكّ أحدكم فى صلاته فلم يدركم صلّى أ ثلاثا
أم أربعا فليطرح الشكّ وليبن ما استيقن. (رواه مسلم)
“jika salah seorang di
antara kamu ragu-ragu dalam mengerjakan sholat dan tidak tahu berapa rakaat ia
telah sholat. Apakah telah mengerjakan tiga atau empat rakaat, maka hendaklah
menghilangkan keraguan itu dan hendaknya menetapkan dengan apa yang
diyakininya.”
Yakin berarti ketentraman hati atas hakikat suatu hal. Dan Syak,
berarti keraguan antara dua hal yang tanpa melakukan tarjih untuk keduanya.
Jadi, maksud dari qaidah ini
adalah apabila seseorang telah meyakini suatu perkara, maka yang telah yakin
ini tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.
Dalam Al-Wajiz dikatakan,
menurut dalil aqli bahwasannya yakin itu lebih kuat dari pada ragu. Karena
yakin adalah hukum pasti yang sungguh, maka tidak bisa merobohkan keraguan.
Seseorang yang yakin telah
berwudhu, kemudian datang keraguan apakah ia telah berhadas, dalam hal ni
ditetapkan hukum yang telah diyakini, yakni masih ada wudhu dan belum berhadas.
Dalam kaidah lain:
الأصل بقاء ما
كان على ما كان
“yang menjadi dasar adalah tetapnya apa yang telah ada atas apa
yang telah ada.”
Berdasarkan kaidah ini, manakala seseorang menjumpai suatu keraguan
mengenai hukum suatu perkara, maka diperlakukan hukum yang telah ada atau yang
ditetapkan pada masa yang telah lewat, sampai ada hukum lain yang merubahnya,
karena apa yang telah ada lebih dapat diyakini.
3. Kaidah ketiga
الضرر يزال
“Kemudhorotan itu harus dihilangkan.”
Redaksi kata-kata dalam kaidah ini, menunjukkan, bahwa kemudhorotan
yang telah terjadi wajib dihilangkan.
Madharrah itu adalah lawan kata dari memperoleh manfaat. Yang
berasal dari fi’il madhi (ضرّ يضرّ) yang berarti kekurangan yang ada dalam suatu hal atau bisa
juga disebut dengan bahaya.
Qaidah ini berasal dari
hadis:
لا ضرر ولا
ضرار
“tidak boleh membuat
kemudhorotan dengan membalas dengan kemudhorotan.” (HR. Ibnu Majah, ra)
Sedangkan, arena dalam kaidah ini sangat luas, mencakup sebagian besar dari
masalah-masalah fiqh. Di antaranya ia mengembalikan barang yang telah dibeli,
karena ada cacat, disyari’atkan berbagai macam khiyar, syuf’ah dan hudud. Dari
qaidah ini, dapat diambil beberapa pengertian, yakni :
1. Yang pertama tidak boleh membahayakan, ini yang utama. Artinya,
seseorang tidak boleh membahayai diri dan harta orang lain. Karena dharar
(bahaya) itu adalah suatu kedoliman. Dan kedholiman itu dilarang. Seperti jika
seseorang memiliki hak untuk lewat pada jalan milik orang lain, maka seseorang
tersebut tidak boleh melarang yang lain untuk tidak lewat pada jalan itu.
2. Bahwa tidak boleh menyambut dharar (kebahayaan) dengan bahaya
yang serupa.
Dalam kaidah lain:
الضرر لا يزال
بمثله
“kemudhorotan tidak dapat dihilangkan dengan kemudhorotan yang
sebanding (serupa).”
Misalnya, seseorang yangs edang kelaparan tidak boleh mengambil
makanan orang lain yang juga akan mati kelaparan apabila makanannya hilang.
Begitu juga, dokter dilarang mengobati pasien yang memerlukan darah, dengan
mengambil darah orang lain yang apabila diambil darahnya akan mengalami penyakit
kekurangan darah.
4. Qaidah keempat
المشقّة تجلب
التيسير
“kesukaran itu mendatangkan kemudahan.”
Qaidah ini berdasarkan kepada:
وما جعل عليكم
فى الدين من حرج. (الحجّ: 78)
“dan dia (Allah) tidak menjadikan untuk kamu dalam agama ini suatu
kesulitan.
” يريد الله بكم
اليسرى ولا يريد بكم العسر (البقرة: 185)
“Allah menghendaki bagimu dan tidak mengehendaki baginya kemudahan
dan tidak menghendaki bagimu kesulitan.”
Dalam keadaan musafir, dibolehkan mengqoshor salat (jumlah rakaat),
dari empat rakaat menjadi dua rakaat.
Selain daripada dibolehkan mengqashar salat bagi musafir, masih
banyak furu’iyah yang bernaung di bawah qaidah ini, antara lain: dibolehkan
berbuka puasa bagi musafir dan orang sakit, dibolehkan makan bangkai atau
makanan lain yang diharamkan di saat di mana tidak ada makanan selain bangkai
yang diharamkan itu. Dari qaidah keempat ini dapat dikemukakan beberapa qaidah:
الأمر إذا ضاق
اتّسع
“suatu perkara apabila
sempit menjadi luas.”
Qaidah di atas dapat diartikan sebagai. Kesulitan yang dijumpai
oleh orang mukallaf dalam melaksanakan hokum syara’ itu menjadi sebab syar’I
yang sah untuk memudahkan dan meringankan mukallaf tersebut dari masalah yang
ia hadapi.
Datangnya syari’at Islam,
pada hakekatnya adalah menciptakan kebahagiaan bagi kehidupan manusia semenjak
di dunia sampai di akhirat.
Kaidah di atas memberikan arti bahwa setiap kesempitan yang
dihadapi oleh seseorang atau masyarakat harus diperlonggar sedemikian rupa,
sehingga benar-benar akan terasa adanya kebahagiaan dengan datangnya Islam.
Sedangkan mengenai kadar
yang harus dipakai untuk menghilangkan kesempitan ini syari’at Islam telah
meletakkan aturan-aturannya yang dipahami dari kaidah-kaidah berikut. Dalam
kaidah lain:
الضرورات تبيح
المحظورات
“keadaan dhorurat itu membolehkan larangan-larangan”
Para fuqaha merumuskan kiadah ini berdasarkan firman Allah:
فمن اضطر غير
باغ ولا عاد فلا إثم عليه (البقرة: 173)
Tetapi, barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia
tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya.
5. Qaidah kelima
العادة محكمة
“Adat (kebiasaan) dapat ditetapkan sebagai hukum.”
Kaidah ini dirumuskan berdasarkan firman Allah: وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين
(الأعراف:
199)
“Dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari
orang yang bodoh.”
Adapun sampai di mana suatu peristiwa yang terjadi dalam masyarakat
dapat disebut adat. Para fuqaha’ memberikan definisi demikian:
العادة ما تعارفه الناس و ساروا عليه فى مجرى
حياتهم سواء كان قولا أم فعلا.
Adat ialah segala yang telah dikenal manusia, sehingga hal itu
menjadi suatu kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan mereka baik berupa
perkataan atau perbuatan. Misalnya: fatwa ulama tentang diperbolehkannya
memberi upah pada pengajaran Alquran dan sejenisnya. Jika para pengajar
tersebut telah disibukkan dengan pengajaran tanpa upah, maka ditakutkan
pengajar-pengajar Alquran tersebut semakin sedikit lalu anak-anak yang bisa
membaca Alquran juga jarang, maka akhirnya dipergunakanlah kebolehan memberi upah
pada pengajar Alquran. Begitu juga pada daerah-daerah yang membiasakan untuk
memebri upah pada muadzin dan imam salat. Jika muadzin dan imam tersebut tidak
diberi upah, maka di daerah itu tidak ada yang adazan dan tidak ada imam salat
berjama’ah. Maka diperbolehkanlah memberi upah pada mereka.
B. Perannya Dalam Penetapan dan Pengembangan Hukum Islam
Sebagaimana yang dikatakan oleh ulama ushul bahwa qaidah fiqhiyyah
itu adalah qaidah-qaidah umum yang meliputi seluruh cabang masalah-masalah
fiqhi yang menjadi pedoman untuk menetapkan hukum setiap peristiwa fiqhiyyah
baik yang telah ditunjuk oleh nash yang sharih maupun yang belum ada nashnya
sama sekali. Oleh karena itu, dengan mempelajari qaidah fiqhiyyah, seseorang
telah memiliki pedoman untuk menetapkan hukum untuk setiap peristiwa fiqhiyyah,
seperti bayi tabung, transplantasi organ tubuh dan sebagainya.
Di samping itu juga
berfungsi sebagai tempat bagi para mujtahid untuk mengembalikan seluruh seluk
beluk masalah fiqhiyyah dan sebagai qoidah (dalil) untuk menetapkan hukum
masalah-masalah baru yang telah ditunjuk oleh nash yang sharih yang sangat
memerlukan untuk ditentukan hukumnya. Oleh karena itu, setiap orang yang
sanggup menguasai qaidah-qaidah fiqhiyyah niscaya mampu menguasai seluruh
bagian masalah fiqh dan sanggup menetapkan ketentuan hukum setiap peristiwa
yang belum atau tidak ada nashnya.
Selain itu, kebutuhan para
penggali hokum fiqh untuk menghapal qaidah, dewasa ini semakin mendesak. Hal
itu antara lain, karena semakin kompleksnya berbagai masalah dalam kehidupan.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa lembar makalah
yang kami ajukan tadi, seindahnya ada beberapa benang merah yang bisa diambil,
yakni:
1. Macam-macam qaidah fiqhiyah kulliyah itu ada lima: 1) الأمور بمقاصدها 2) اليقين لا يزول
بالشك 3) العادة محكمة 4) المشقة تجلب التيسير 5) الضرر يزول 2.
Perannya dalam pengembangan dan penerapan hukum islam ialah:
1) dengan mempelajari qaidah fiqhiyyah, seseorang telah memiliki
pedoman untuk menetapkan hukum untuk setiap peristiwa fiqhiyyah, seperti bayi
tabung, transplantasi organ tubuh dan sebagainya.
2) berfungsi sebagai tempat bagi para mujtahid untuk mengembalikan
seluruh seluk beluk masalah fiqhiyyah dan sebagai qoidah (dalil) untuk
menetapkan hukum masalah-masalah baru yang telah ditunjuk oleh nash yang sharih
yang sangat memerlukan untuk ditentukan hukumnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar