Rabu, 02 Mei 2018

qoidah fiqhiyyah " الضرر لا يزال"


MAKALAH
QAWAI’D FIQHIYAH
“ADHARARU YUZAALU”
 











DOSEN PEMBIMBING :
Ust. Abdul Khaliq, M.A.

DISUSUN :
Kasis Darmawan
Muhammad Nur Assidiq Wijaya

FAKULTAS USHULLUDIN
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN JAKARTA


KATA PENGANTAR

            Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan kepada kita semua untuk dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini dengan sebaik-baiknya untuk memenuhi tugas Sejarah Peradaban Islam.
            Juga tidak lupa teriring salam dan sholawat  kehadirat Rasulullah SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman terang benderang yaitu Addinul Islam.Memberikan pencerahan pada setiap hati manusia untuk berfikir menyaksikan kekuasaan Illahi Robbi yang memiliki tingkat keilmuan yang maha tinggi.
            Terima kasih kami haturkan kepada bapak dosen yang telah memberikan dorongan serta motifasi keilmuannya dalam membimbing dan memberikan dorongan dalam pembuatan makalah ini.Dan tidak lupa diucapkan terima kasih kepada semua anggota yang telah mencurahkan segala kemampuannya demi tersusunnya makalah ini.
            Penyusunan makalah ini salah satunya bertujuan untuk  menjaga kemurnian kebudayaan islam dan spiritualnya atas berbagai bangsa yang telah tercemari oleh buku-buku yang tersedia dalam bahasa inggris yang ditulis oleh para penulis Eropa.
            Tujuan islam tidak pernah mengajarkan pada ancaman kekerasan seperti yang diduga keras oleh para orientalis.Islam mengajarkan pada keluhuran akhlaq yang diterapkan oleh para pemimpin setelah Rasulullah SAW.Kebijakan,kearifan,keadilan yang menjadi sifat para pemimpin terdahulu patut untuk kita tiru teladannya.
            Dengan adanya makalah ini semoga dapat sedikit memberikan informasi dan pemahaman teladan para pemimpin terdahulu yang bisa diterapkan pada kehidupan sekarang ini.Agar bisa menjadi islam yang tumbuh subur sehingga menjadi generasi yang cakap,cerdas serta berakhlaq mulia,berguna bagi nusa,bangsa dan agama.Semoga Allah menerima upaya sederhana ini.Semoga para pembaca dapat memberikan sedikit saran dan kritik untuk memperbaiki kekurangan dan kelemahan bagi penyusunan makalah selanjutnya.









Pendahuluan


               Kaidah fiqhiyyah tidak dapat dipungkiri sebagai hasil kreasi berpikir ulama dengan bimbingan
nash dalam melihat dan mencermati sejumlah persoalan-persoalan fikih dan sekaligus menjadi
salah satu solusi permasalahan hukum yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
           
           Para ulama fikih telah menyepakati adanya kaidah yang dikategorikan kaidah pokok atau kaidah dasar yang hakikatnya dapat menjadi induk dari sejumlah kaidah yang dikategorikan kaidah cabang (furu’iyah). Sejumlah kaidah cabang ini dapat digunakan secara bersamaan untuk menyelesaikan beberapa kasus dan peristiwa yang berkaitan dengan bidang ibadah, muamalah  saat ini.
      
        Pada pembahasan ini pemakalah akan menyinggung salah satu dari kaidah fiqiah   dengan kaidah pokoknya “ Adhararu yazillu” dan  kaidah cabangnya beserta contohnya.

أَلضَّرَرُيُزَال


A. DASAR QAIDAH

1. Dasar al-Qur’an:
     a. Qur’an surah al-Baqarah ayat 60:
وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
Artinya : “dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan”.

     b. Qur’an surah al-A’raf ayat 56:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا
Artinya :”Dan janganlah kamu membuat kerusakandi bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya”.

  c. Qur’an surah al-Qashash ayat 77:
وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
                Artinya :” dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
       
  d. Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 231:
وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ
        Artinya ;”Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri”.


2. Dasar Qaidah dari Hadis Rasulullah SAW :

     Hadis Rasulullah SAW. riwayat dari Ibnu Majah dari Ibnu Abbas:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ[1]
Artinya : “Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh (pula) saling membahayakan (merugikan)”.
           Para ulama menganggap hadis di atas sebagai jawami al-kalim, kemudian hadis tersebut dijadikan sebagai qaidah fiqhiyyah asasiyyah.


B. PENGERTIAN QAIDAH

         Mudharat secara etimologi adalah berasal dari kalimat "al-Dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Al-dharar (الضرر ) adalah membahayakan orang lain secara mutlak, sedangkan al-dhirar (الضرار ) adalah membahayakan orang lain dengan cara yang tidak disyariatkan. Dalam al-Qur’an ayat-ayat yang mengandung kata yang berakar dari ضرر . Ayat-ayat itu seluruhnya menyuruh mengusahakan kebaikan dan melarang tindakan merugikan; keharusan mengikuti ajakan perbaikan hubungan (إصلاح ) suami isteri (QS. al-Baqarah ayat 228), larangan merujuki isteri dengan maksud yang tidak baik (ضرار ) (QS. al-Baqarah ayat 231), larangan membuat keputusan yang merugikan dalam pembagian warisan (غير مضار ) (QS. al-Nisa ayat 12), larangan saling merugikan antar anggota rumah tangga suami, isteri dan anak (لاتضار ) (QS. al-Baqarah ayat 233), dan larangan menyusahkan isteri (ولاتضاروهن ) (QS. al-An’am ayat 6).

         Sedangkan Dharar secara terminologi ada beberapa pengertian diantaranya adalah Abu Bakar al-Jashas, mengatakan makna Dharar adalah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya. Menurut al-Dardiri, Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat.

          Menurut sebagian ulama dari Mazhab Maliki, Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan. Menurut al-Suyuti, Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas, kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.

         Sedangkan al-Nadwi mengutip pendapat al-Khusni mengatakan bahwa dhirar adalah sebagai perbuatan yang menguntungkan diri sendiri tetapi merugikan orang lain, sedangkan dharar adalah perbuatan yang merugikan orang lain tetapi tidak menguntungkan diri sendiri.

        Berdasarkan pendapat para ulama di atas, dapat diambil simpulan, bahwa Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.




.
C. QAIDAH FURU’IYAH
         
            Memberlakukan Qaidah asasiyyah ini harus memperhatikan qaidah bagiannya, yaitu[2]:
a.     الضررات تبيح المحظوراة
“Kemudharatan dapat menghalalkan sesuatu yang diharamkan menurut syariat”

       Misalnya, orang yang dilanda kelaparan diperkenankan makan binatang yang diharamkan karena ketidak adaan makanan yang halal.

b.           الضرر لا يزال بمثله او بالضرر
“ ‘Kemudharatan tidak dihilangkan dengan semisalnya atau dengan kemudharatan juga.’”
          Oleh karena itu, orang yang dalam keadaan terpaksa menghajatkan sekali kepada makanan, maka tidak boleh makan makanan milik orang lain yang ia juga sangat menghajatkannya.
c.             درء الفاسد أولى من جلب المصالح
      “Menolak kerusakan (mafsadat) lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan”.
            Oleh karena itu, apabila berjual beli hukumnya sunnat, tetapi jika jual beli itu mengandung aspek riba, maka jual beli itu menjadi dilarang.

d.         اذا تعارض مفسدتان روعى اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما
          “Apabila dua buah kemudharatan saling berlawanan maka haruslah dipelihara yang lebih berat mudharatnya dengan melaksanakan yang lebih ringan dari padanya”.
         Oleh karena itu, melaksanakan hukuman qishash adalah tindakan yang merusak hak asasi manusia. Tetapi kalau tindakan semacam itu tidak dilakukan oleh penguasa maka kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh tindakan mereka akan lebih banyak. Oleh karena itu, agama mengadakan hukuman qishash. Atau seseorang memotong pohon milik orang lain adalah perbuatan merusak, tetapi seandainya hal itu tidak dilakukannya, maka pohon itu meliuk di jendela rumahnya dan akan mengganggu bergantinya udara dan cahaya matahari yang masuk kerumahnya yang sangat membahayakan kesehatan. Oleh karena itu, memotong pohon milik orang lain yang mengganggunya dibolehkan.
e.           اذا تعارض المصاحة و المفسدة روعي ارحجهما
 Apabila terjadi perlawanan antara kemaslahatan dan kemudharatan, maka harus diperhatikan mana yang lebih kuat di antara keduanya
          Oleh karena itu, berbohong adalah sifat yang tercela lagi dosa dandiharamkan. Tetapi kalau berbohong itu dilakukan dengan niat untuk mendamaikan suatu pertengkaran antara seseorang kawannya atau antara suami isteri, maka berbohong itu dibolehkan.
f.  وما ابيح لضررة يقدر بقدرها
        “Sesuatu yang diperbolehkan karena dharurat, harus diperkirakan menurut batasan ukuran kebutuhan minimal”.
        Melakukan yang haram karena dharurat tidak boleh melampaui batas, tetapi hanya sekedarnya. Oleh sebab itu, jika kemudharatan atau keadaan yang memaksa tersebut sudah hilang, maka hukum kebolehan yang berdasarkan kemudharatan menjadi hilang juga, artinya perbuatan boleh kembali keasal semula, yaitu terlarang. Apa saja kebolehannya karena ada alasan kuat (uzur), maka hilangnya kebolehan itu disebabkan oleh hilangnya alasan.


D.  Penerapan Qaidah dalam bidang muamalah

أَلضَّرَرُيُزَال
            ‘’Kemudharatan wajib dihilangkan’’
a. Mengembalikan barang yang telah dibeli lantaran adanya cacat dalam masa khiyar diperbolehkan. Begitu pula larangan terhadap mahjur (orang yang dilarang membelanjakan harta kekayaannya), muflis (yang jatuh pailit, yang safih (orang dungu) untuk bertransaksi. Dasar pertimbangan diberlakukan ketentuan tersebut untuk menghindarkan sejauh mungkin bahaya yang merugikan pihak-pihak yang terlibat di dalam transaksi tersebut.
b. Jika seseorang meminjam uang dengan kadar tertentu, kemudian uang tersebut tidak berlaku lagi karena penggantian uang, atau yang lainnya, maka menurut Abu Yusuf (w.182 H) orang tersebut wajib mengembalikannya sesuai dengan harga uang tersebut, yaitu pada hari akhir berlakunya uang pinjaman tersebut.
c. Hakim berhak mencegah orang yang berutang untuk bepergian (safar) atas permintaan yang punya piutang sehingga ia menunjuk seorang wakil yang mewakilinya dan tidak boleh ia memberhentikan wakilnya selama ia dalam bepergian, untuk menghilangkan mudharata (bahaya) bagi yang punya piutang.[3]

E. Kesimpulan

          Tidak selamanya ketentuan hokum syariat itu mutlak atau baku tetapi pada saat tertentu hokum akan berubah sesuai dengan ekstensiya. Ketika dalam situasi darurat yang hokum awalnya haram bisa berubah menjadi halal, yang wajib   menjadi tidak wajib, akan tetapi tentu harus memenuhi syarat dan batas yang telah di tentukan syariat. Semua itu bentuk ke maha pengasihan dan kemaha penyayangnya  Allah SWT demi terhindarnya kerusakan dan terwujudnya keselamatan bagi hambanya di muka bumi ini.Wallu a’lam.
       Demikian makalah ini disampaikan, semoga bermanfaat bagi kita semua, kami menyadari akan kekurangan dan  kelemahan dalam penulisan makalah ini, mohon kiranya kepada pembaca sekiranya ada kritikan dan saran bagi kami demi perbaikan dan pengembangan  makalah kami kedepanya.
       Atas partisipasinya kami ucapkan terima kasih.






Daftar Pustaka
                                               
 Azhari Faturrahman, Qawait Fiqhiah Muamalah, Banjarmasin :Lembaga Pemberdaya Kualitas Umat, 2015
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azîm, juz 1, Beirût: Dâr al-Fikr, 1992.
Abu Abdillah, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Dar Ihya’al-kitab Arabiyah.


[1] Ibnu Majah , al-Musnad, Maktabah Syamilah , h. 782 
[2] Fathurrahman Azhari, Qawait Fiqhiah Muamalah (Banjarmasin :Lembaga Pemberdaya Kualitas Umat, 2015), h. 111
[3] Fathurrahman Azhari, Qawait Fiqhiah Muamalah (Banjarmasin :Lembaga Pemberdaya Kualitas Umat, 2015), h. 114

Tidak ada komentar:

Posting Komentar