MAKALAH
QAWAI’D FIQHIYAH
“ADHARARU YUZAALU”
DOSEN PEMBIMBING :
Ust. Abdul Khaliq, M.A.
DISUSUN :
Kasis Darmawan
Muhammad Nur Assidiq Wijaya
FAKULTAS
USHULLUDIN
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN JAKARTA
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan kepada kita semua
untuk dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini dengan sebaik-baiknya untuk
memenuhi tugas Sejarah Peradaban Islam.
Juga tidak lupa teriring salam dan sholawat kehadirat Rasulullah SAW yang
telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman terang benderang yaitu
Addinul Islam.Memberikan pencerahan pada setiap hati manusia untuk berfikir
menyaksikan kekuasaan Illahi Robbi yang memiliki tingkat keilmuan yang maha
tinggi.
Terima kasih kami haturkan kepada bapak dosen yang telah memberikan dorongan
serta motifasi keilmuannya dalam membimbing dan memberikan dorongan dalam
pembuatan makalah ini.Dan tidak lupa diucapkan terima kasih kepada semua anggota
yang telah mencurahkan segala kemampuannya demi tersusunnya makalah ini.
Penyusunan makalah ini salah satunya bertujuan untuk menjaga kemurnian
kebudayaan islam dan spiritualnya atas berbagai bangsa yang telah tercemari
oleh buku-buku yang tersedia dalam bahasa inggris yang ditulis oleh para
penulis Eropa.
Tujuan islam tidak pernah mengajarkan pada ancaman kekerasan seperti yang
diduga keras oleh para orientalis.Islam mengajarkan pada keluhuran akhlaq yang
diterapkan oleh para pemimpin setelah Rasulullah
SAW.Kebijakan,kearifan,keadilan yang menjadi sifat para pemimpin terdahulu
patut untuk kita tiru teladannya.
Dengan adanya makalah ini semoga dapat sedikit memberikan informasi dan
pemahaman teladan para pemimpin terdahulu yang bisa diterapkan pada kehidupan
sekarang ini.Agar bisa menjadi islam yang tumbuh subur sehingga menjadi
generasi yang cakap,cerdas serta berakhlaq mulia,berguna bagi nusa,bangsa dan
agama.Semoga Allah menerima upaya sederhana ini.Semoga para pembaca dapat
memberikan sedikit saran dan kritik untuk memperbaiki kekurangan dan kelemahan
bagi penyusunan makalah selanjutnya.
Pendahuluan
Kaidah
fiqhiyyah tidak dapat dipungkiri sebagai hasil kreasi berpikir ulama dengan bimbingan
nash dalam
melihat dan mencermati sejumlah persoalan-persoalan fikih dan sekaligus menjadi
salah satu
solusi permasalahan hukum yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
Para ulama fikih telah menyepakati
adanya kaidah yang dikategorikan kaidah pokok atau kaidah dasar yang hakikatnya
dapat menjadi induk dari sejumlah kaidah yang dikategorikan kaidah cabang
(furu’iyah). Sejumlah kaidah cabang ini dapat digunakan secara bersamaan untuk
menyelesaikan beberapa kasus dan peristiwa yang berkaitan dengan bidang ibadah,
muamalah saat ini.
Pada pembahasan ini pemakalah akan menyinggung
salah satu dari kaidah fiqiah dengan kaidah pokoknya “ Adhararu yazillu”
dan kaidah cabangnya beserta contohnya.
أَلضَّرَرُيُزَال
A.
DASAR QAIDAH
1. Dasar al-Qur’an:
a. Qur’an surah al-Baqarah ayat 60:
وَلَا
تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
Artinya
: “dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan”.
b. Qur’an surah
al-A’raf ayat 56:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا
Artinya
:”Dan janganlah kamu membuat kerusakandi bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya”.
c. Qur’an surah al-Qashash ayat 77:
وَلَا
تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Artinya :” dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.”
d. Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 231:
وَلَا
تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ
نَفْسَهُ
Artinya ;”Janganlah kamu rujuki mereka
untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.
Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap
dirinya sendiri”.
2. Dasar Qaidah dari Hadis
Rasulullah SAW :
Hadis Rasulullah SAW. riwayat dari Ibnu Majah dari Ibnu Abbas:
لَا ضَرَرَ
وَلَا ضِرَارَ[1]
Artinya : “Tidak
boleh membahayakan dan tidak boleh (pula) saling membahayakan (merugikan)”.
Para ulama menganggap hadis di atas
sebagai jawami al-kalim, kemudian
hadis tersebut dijadikan sebagai qaidah fiqhiyyah asasiyyah.
B. PENGERTIAN QAIDAH
Mudharat secara
etimologi adalah berasal dari kalimat "al-Dharar" yang berarti
sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Al-dharar (الضرر ) adalah membahayakan orang lain secara
mutlak, sedangkan al-dhirar (الضرار
) adalah membahayakan orang lain dengan cara yang tidak disyariatkan. Dalam
al-Qur’an ayat-ayat yang mengandung kata yang berakar dari ضرر . Ayat-ayat itu seluruhnya menyuruh mengusahakan kebaikan dan
melarang tindakan merugikan; keharusan mengikuti ajakan perbaikan hubungan (إصلاح ) suami isteri (QS. al-Baqarah ayat 228),
larangan merujuki isteri dengan maksud yang tidak baik (ضرار ) (QS. al-Baqarah ayat 231), larangan membuat keputusan yang
merugikan dalam pembagian warisan (غير مضار ) (QS. al-Nisa ayat
12), larangan saling merugikan antar anggota rumah tangga suami, isteri dan
anak (لاتضار ) (QS. al-Baqarah ayat 233), dan larangan
menyusahkan isteri (ولاتضاروهن ) (QS. al-An’am ayat
6).
Sedangkan Dharar secara
terminologi ada beberapa pengertian diantaranya adalah Abu Bakar al-Jashas,
mengatakan makna Dharar adalah ketakutan seseorang pada bahaya yang
mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya. Menurut al-Dardiri, Dharar
ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat.
Menurut sebagian ulama dari Mazhab
Maliki, Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan
atau hanya sekedar dugaan. Menurut al-Suyuti, Dharar adalah posisi
seseorang pada sebuah batas, kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang
maka ia akan binasa atau nyaris binasa.
Sedangkan al-Nadwi mengutip pendapat
al-Khusni mengatakan bahwa dhirar adalah sebagai perbuatan yang
menguntungkan diri sendiri tetapi merugikan orang lain, sedangkan dharar adalah
perbuatan yang merugikan orang lain tetapi tidak menguntungkan diri sendiri.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas,
dapat diambil simpulan, bahwa Dharar adalah kesulitan yang sangat
menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan
mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.
.
C. QAIDAH
FURU’IYAH
Memberlakukan Qaidah asasiyyah ini
harus memperhatikan qaidah bagiannya, yaitu[2]:
a.
الضررات تبيح المحظوراة
“Kemudharatan dapat menghalalkan
sesuatu yang diharamkan menurut syariat”
Misalnya, orang yang dilanda kelaparan diperkenankan makan binatang
yang diharamkan karena ketidak adaan makanan yang halal.
b.
الضرر لا يزال بمثله او بالضرر
“ ‘Kemudharatan tidak dihilangkan dengan semisalnya atau dengan
kemudharatan juga.’”
Oleh karena itu, orang yang dalam keadaan
terpaksa menghajatkan sekali kepada makanan, maka tidak boleh makan makanan
milik orang lain yang ia juga sangat menghajatkannya.
c.
درء الفاسد أولى من جلب المصالح
“Menolak
kerusakan (mafsadat) lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan”.
Oleh karena itu, apabila berjual
beli hukumnya sunnat, tetapi jika jual beli itu mengandung aspek riba, maka
jual beli itu menjadi dilarang.
d.
اذا تعارض مفسدتان
روعى اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما
“Apabila dua
buah kemudharatan saling berlawanan maka haruslah dipelihara yang lebih berat
mudharatnya dengan melaksanakan yang lebih ringan dari padanya”.
Oleh karena itu, melaksanakan hukuman qishash adalah
tindakan yang merusak hak asasi manusia. Tetapi kalau tindakan semacam itu
tidak dilakukan oleh penguasa maka kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh
tindakan mereka akan lebih banyak. Oleh karena itu, agama mengadakan hukuman qishash.
Atau seseorang memotong pohon milik orang lain adalah perbuatan merusak, tetapi
seandainya hal itu tidak dilakukannya, maka pohon itu meliuk di jendela
rumahnya dan akan mengganggu bergantinya udara dan cahaya matahari yang masuk
kerumahnya yang sangat membahayakan kesehatan. Oleh karena itu, memotong pohon
milik orang lain yang mengganggunya dibolehkan.
e.
اذا تعارض المصاحة و المفسدة روعي ارحجهما
Apabila terjadi
perlawanan antara kemaslahatan dan kemudharatan, maka harus diperhatikan mana
yang lebih kuat di antara keduanya
Oleh karena itu,
berbohong adalah sifat yang tercela lagi dosa dandiharamkan. Tetapi kalau
berbohong itu dilakukan dengan niat untuk mendamaikan suatu pertengkaran antara
seseorang kawannya atau antara suami isteri, maka berbohong itu dibolehkan.
f. وما ابيح لضررة يقدر بقدرها
“Sesuatu yang
diperbolehkan karena dharurat, harus diperkirakan menurut batasan ukuran
kebutuhan minimal”.
Melakukan yang
haram karena dharurat tidak boleh melampaui batas, tetapi hanya
sekedarnya. Oleh sebab itu, jika kemudharatan atau keadaan yang memaksa
tersebut sudah hilang, maka hukum kebolehan yang berdasarkan kemudharatan
menjadi hilang juga, artinya perbuatan boleh kembali keasal semula, yaitu
terlarang. Apa saja kebolehannya karena ada alasan kuat (uzur), maka hilangnya
kebolehan itu disebabkan oleh hilangnya alasan.
D. Penerapan Qaidah dalam bidang muamalah
أَلضَّرَرُيُزَال
‘’Kemudharatan wajib
dihilangkan’’
a.
Mengembalikan barang yang telah dibeli lantaran adanya cacat dalam masa khiyar
diperbolehkan. Begitu pula larangan terhadap mahjur (orang yang dilarang
membelanjakan harta kekayaannya), muflis (yang jatuh pailit, yang safih (orang
dungu) untuk bertransaksi. Dasar pertimbangan diberlakukan ketentuan tersebut
untuk menghindarkan sejauh mungkin bahaya yang merugikan pihak-pihak yang
terlibat di dalam transaksi tersebut.
b. Jika
seseorang meminjam uang dengan kadar tertentu, kemudian uang tersebut tidak
berlaku lagi karena penggantian uang, atau yang lainnya, maka menurut Abu Yusuf
(w.182 H) orang tersebut wajib mengembalikannya sesuai dengan harga uang
tersebut, yaitu pada hari akhir berlakunya uang pinjaman tersebut.
c. Hakim berhak
mencegah orang yang berutang untuk bepergian (safar) atas permintaan yang punya
piutang sehingga ia menunjuk seorang wakil yang mewakilinya dan tidak boleh ia
memberhentikan wakilnya selama ia dalam bepergian, untuk menghilangkan
mudharata (bahaya) bagi yang punya piutang.[3]
E.
Kesimpulan
Tidak selamanya ketentuan hokum syariat itu
mutlak atau baku tetapi pada saat tertentu hokum akan berubah sesuai dengan
ekstensiya. Ketika dalam situasi darurat yang hokum awalnya haram bisa berubah
menjadi halal, yang wajib menjadi tidak wajib, akan tetapi tentu harus
memenuhi syarat dan batas yang telah di tentukan syariat. Semua itu bentuk ke
maha pengasihan dan kemaha penyayangnya
Allah SWT demi terhindarnya kerusakan dan terwujudnya keselamatan bagi
hambanya di muka bumi ini.Wallu a’lam.
Demikian makalah ini disampaikan, semoga
bermanfaat bagi kita semua, kami menyadari akan kekurangan dan kelemahan dalam penulisan makalah ini, mohon
kiranya kepada pembaca sekiranya ada kritikan dan saran bagi kami demi
perbaikan dan pengembangan makalah kami
kedepanya.
Atas partisipasinya kami ucapkan terima kasih.
Daftar
Pustaka
Azhari Faturrahman, Qawait Fiqhiah Muamalah, Banjarmasin :Lembaga Pemberdaya Kualitas Umat,
2015
Ibn Katsir,
Tafsir al-Qur’ân al-‘Azîm, juz 1, Beirût: Dâr al-Fikr, 1992.
Abu Abdillah,
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Dar Ihya’al-kitab Arabiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar